Arti Sains, Agama, Kebenaran, dan Filsafat Sains
Sains adalah pengetahuan mengenai fenomena-fenomena spasio-temporal
atau alam semesta pada umumnya, seperti kimia, fisika, dan astronomi
(Bagir, 2006 dalam Augustina Kurniasih (2010)). Sains merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia
yang gigih mencari makna.
Sains berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya
dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang
terjadi di alam. Untuk tujuan tersebut, sains menggunakan bukti dari
eksperimen, deduksi logis, dan/atau pemikiran rasional untuk
mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat. Oleh karena
itu, sebagaimana disebutkan oleh Sa’id (2007) sains atau ilmu
pengetahuan meliputi berbagai ilmu, seperti 1) ilmu fisika
(astronomi, fisika, dan kimia), 2) ilmu kebumian (geologi, hidrologi,
dan ilmu atmosfer), 3) ilmu biologi ( sejarah biologi abad 17-20,
bidang molekuler : biokimia, biofisika, genetika, bilogi sel :
kanker, mikrobiologi, radiasi, kultur jaringan, dan biologi
transplantasi, serta biologi organismik (botani, ekologi,
embriologi, fisiologi, nutrisi, zoology, dan sebagainya)
Sumantri (2005) menjelaskan bahwa nama asal fisika adalah filsafat
alam (natural philosophy) dan ekonomi adalah filsafat moral
(moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu
terjadi perubahan, yang menjadikan bidang kajian filsafat menjadi
lebih sempit, lebih sektoral.
Menurut Eisntein (1930), sains merupakan pemikiran metodik yang
diarahkan untuk menemukan hubungan regulative antara
pengalaman-pengalaman sesnsual manusia. Dalam waktu relatif cepat,
sains menghasilkan pengetahuan dan secara tidak langsung merupakan
alat bertindak menuju ke tindakan yang metodikal apabila
tujuan-tujuan tertentu telah ditetapkan sebelumnya.
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh
aliran positivisme, yaitu aliran yang sangat mengutamakan metode
ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis, dan
epistomologis (Rakhmat, 2003 dalam Augustina Kurniasih (2010)). Menurut aliran ini, sains mempunyai
reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran. Sementara pendapat lain
menyatakan bahwa struktur ilmu pengeahuan meliputi aspek aksiologis,
epistomologi, dan ontology. Aksiologi mempertanyakan dimensi utilitas
(faedah, peranan, kegunaan). Epistomologi menjelaskan norma-norma
yang dipergunakan ilmu pengetahuan untuk membenarkan dirinya.
Sedangkan ontology menjelaskan struktur material dari ilmu
pengetahuan.
Davis (1993) dalam Dinar (2007) menjelaskan bahwa sains adalah
sebuah pencarian yang mulia, yang mempertanyakan dan membantu manusia
membuat pengertian tentang dunia, dengan cara objektif dan metodis.
Sains menuntut standar-standar ketat tentang prosedur dan diskusi
yang menempatkan rasio di atas kepercayaan irasional. Dengan kata
lain, sains merupakan hasil olah pikir atau aktivitas pikir manusia,
baik melalui kajian atau metode rasional maupun metode ilmiah, secara
terus-menerus. Selanjutnya menurut Tayiwudin an-Nabani dalam
Dinar (2007), aktivitas berpikir bisa terwujud jika ada fakta, otak
manusia yang normal, panca indra, dan informasi terlebih dahulu.
Sedangkan menurut Auguste Comte dalam Dinar (2007)
perkembangan intelektual manusia meliputi teologi, metafisik, dan
terakhir sains.
Agama
Menurut Einstein (1930), agama ada, berkaitan dengan sikap manusia
terhadap alam semesta, dengan menanamkan cita-cita dalam kehidupan
individu dan masyarakat, serta hubungan timbal balik antar manusia.
Agama berkaitan dengan tujuan dan evaluasi, umumnya dengan dasar
emosional pemikiran dan tindakan manusia. Pemikiran dan tindakan
tersebut tidak ditentukan lebih dulu oleh perintah manusia, melainkan
turun temurun yang tidak dapat diubah.
Menurut Al-Attas (1995), arti agama dalam Islam diungkapkan dengan
kata din, yang bukan sekadar konsep, tetapi merupakan ungkapan
yang diterjemahkan dengan amat baik ke dalam realitas, dan dihidupi
dalam pengalaman manusia. Tujuan akhir agama bagi manusia adalah
mengembalikan manusia kepada keadaan sebelum ia ada, dan ini
melibatkan upaya pencarian identitas dan nasib terakhirnya dengan
melakukan perbuatan yang benar (amal saleh).
Agama mencakup banyak hal. Menurut Smart (2000) dalam Bagir
(2005) ada enam dimensi pandangan dunia terhadap agama : 1) dimensi
doktrin atau filosofis, 2) naratif atau mistis, 3) etika atau legal,
4) praktis atau ritual, 5) eksperiensal atau emosional, dan 6)
dimensi sosial atau organisasional.
Kebenaran
Apakah kebenaran itu? Menurut sains kebenaran adalah sesuatu yang
empiris, logis, konsisten, dan dapat diverifikasi. Sedangkan
kebenaran menurut definisi kamus adalah kesesuaian dengan fakta atau
yang sebenarnya, atau pernyataan yang terbukti atau diterima sebagai
benar.
Sains menempatkan kebenaran pada pada sesuatu yang dapat dijangkau
oleh indra. Sementara menurut kacamata agama, kebenaran tidak hanya
meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra, tetapi juga yang
bersifat non indrawi (Rahmat, 2003 dalam Augustina Kurniasih (2010)).
Suriasumantri (2005) menjelaskan bahwa sesuatu disebut benar jika
pernyataan dan kesimpulan yang ditariknya konsisten dengan pernyataan
dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar. Selanjutnya
dijelaskan juga bahwa ada beberapa paham mengenai kebenaran. Teori
pertama disebut teori koherensi. Teori ini menjelaskan bahwa suatu
pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Paham lain adalah kebenaran yang didasarkan teori
korespondensi. Teori ini menyatakan bahwa suatu pernyataan adalah
benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan tersebut.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kedua teori di atas digunakan dalam
cara berpikir ilmiah. Sebagai contoh penalaran teoritis berdasarkan
logika deduktif akan menggunakan teori koherensi. Sementara proses
pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang
mendukung suatu pernyataan tertentu menggunakan teori kebenaran
pragmatis. Teori pragmatis menjelaskan bahwa kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis.
Dalam Islam, iman merupakan pembuktian dengan tindakan atas apa yang
diketahui dan dikenali dengan kebenaran. Pengenalan terhadap
kebenaran tercapai melewati hidayah (bimbingan Tuhan), dan bukan
pernyataan-pernyataan rasional dan bukti-bukti logis. Kebenaran
bersifat obyektif dan subyektif, merupakan aspek-aspek tak
terpisahkan dari suatu realitas (Al-Attas, 1995 dalam Augustina Kurniasih (2010)).
Filsafat
Sains
Filsafat sains adalah bidang ilmu yang mempelajari dasar-dasar
filsafat, asumsi, dan implikasi dari sains. Menurut sejarahnya
filsafat berasal dari Yunani dan Romawi, kemudian berkembang menjadi
filsafat abad pertengahan, dan filsafat modern (teori politik,
humanisme, dan filsafat alam). Filsafat pada periode awal modern
membedakan antara aliran empirisme dan rasionalisme (Sa’id, 2007 dalam Augustina Kurniasih (2010)).
Filsafat sains berusaha menjelaskan masalah-masalah seperti : apa dan
bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah.
Kemudian, bagaimana konsep tersebut dilahirkan. Filsafat sains juga
menguraikan bagaimana sains dapat menjelaskan, memperkirakan, serta
memanfaatkan alam melalui teknologi. Selanjutnya, filsafat sains juga
menjelaskan cara menentukan validitas sebuah informasi, formulasi,
dan penggunaan metode ilmiah, macam-macam penalaran yang dapat
digunakan untuk mendapatkan keseimpulan, serta penerapan metode dan
model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Menurut Popper (1902-1994) dalam Thorton, 2006 masalah sentral
dalam falsafah ilmu adalah masalah demarkasi, yaitu membedakan antara
ilmu dan yang bukan ilmu (non-science). Menurutnya, semua pengamatan
adalah selektif dan bermuatan teori, serta tidak ada pengamatan yang
murni atau bebas teori. Dinyatakan pula bahwa tidak ada metodologi
unik yang khusus untuk sains. Popper juga percaya bahwa sains
sebagian besar terdiri dari penyelesaian masalah (problem
solving).
Popper menolak induksi, dan menolak pendapat bahwa induksi adalah
metode khas untuk penyelidikan dan inferensi, karena lebih mudah
mencari bukti daripada teori. Pendekatan yang digunakannya adalah
falsifiability. Sebuah teori adalah ilmiah hanya apabila ia
dapat disangkal oleh sebuah peristiwa yang bisa dipercayai. Dengan
demikian ujian bagi sebuah teori ilmiah secara logis adalah upaya
untuk menyangkal atau menggugurkannya. Teori Demarkasi Popper
didasarkan pada persepsinya tentang asimetris logis yang ada di
antara pemeriksaan benar tidaknya (verification) dan pemalsuan
(falsification).
Setiap teori ilmiah yang sejati bersifat melarang (prohibitive)
sampai akhirnya tergantikan oleh teori yang lebih baik. Popper selalu
menunjukkan pembedaan jelas antara logic of falsifiability dan
applied metodologynya. Teori bisa diuji dan digugurkan tapi
tidak pernah bisa diverifikasi secara logis.
Menurut Poper ada empat langkah dalam prosedur deduktif, yaitu
- formal, menguji konsistensi internal dari sistem teoritik untuk mengetahui apakah ada kontradiksi-kontradiksi.
- Semi formal, memberi aksioma pada teori untuk membedakan antara unsur-unsur empiris dan unsur-unsur logis dari teori.
- memperbandingkan teori baru dan teori-teori yang sudah ada untuk menentukan apakah ada kemajuan. Kalau tidak ada kemajuan, berarti teori baru tidak akan diterima. Teori X lebih baik daripada teori Y (tandingannya) jika X memiliki kandungan empiris lebih besar, sehingga memiliki kemampuan memprediksi lebih baik daripada Y.
- Menguji sebuah teori melalui penerapan empiris dari kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari teori itu. Kalau kesimpulan itu ternyata benar, maka teori itu diperkuat (tapi tidak pernah terverifikasi). Jika kesimpulannya ternyata salah, ini merupakan pertanda bahwa teori itu tidak seluruhnya benar (logikanya teori itu gugur-falsified), dan para ilmuwan mulai memiliki teori lebih baik.Hubungan Sains dan Agama
Menurut Hardiman (2007), secara garis besar ada tiga posisi untuk
memahami hubungan antara sains dan agama. Pertama, sains dan agama
memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna. Ke-dua, agama
dan sains dibawa ke arena yang sama dalam pencarian makna. Ke-tiga,
agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif
yang berbeda.
Ketiga posisi hubungan antara sains dan agama sebagaimana dijelaskan
oleh Hardiman (2007), dapat disajikan dalam bentuk gambar. Gambar
tersebut disajikan dalam Gambar 1.
agama dan sains adalah
dua perspektif berbeda
agama dan sains adalah
dua perspektif berbeda
Agama dan sains agama dan sains
di
wilayah berbeda di wilayah yang sama
dalam pencarian makna dalam pencarian makna.
Tiga Hubungan Agama dan Sains
Tiga Hubungan Agama dan Sains
Davies dalam Bunyamin (2002) merekomendasikan kebangkitan
relasi agama dan sains. Pertama, adanya dialog yang semakin intensif
antara para ahli sains, filsafat, dan teolog mengenai persoalan yang
berkaitan dengan gagasan penciptaan (evolusi). Kedua, adanya minta
yang besar untuk pemikiran mistik dan filsafat timur.
sember : Kurniasih, Augustina (2010). HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA . http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/HUBUNGAN-SAINS-DAN-AGAMA.doc .(diakses tanggal 12 November 2012).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar