Tipologi Hubungan Agama dan Sains
Dalam dunia modern
sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi
kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan perkembangannya. Dan
sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai kemajuan dan kesejahteraan
hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi
kelangsungan hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini
menjadi tujuan tunggal atas penguasaan dan pemanfaatan sains?.
Pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi hasil aplikasi sains tampak
jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara luas. Dan
manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara
besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu sering
diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama (A. Sahirul Alim dalam Anonim,2008).
Sebagai
makhluk berakal, tentunya manusia juga sangat menyadari kebutuhannya untuk
memperoleh kepastian, baik ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia
berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya.
Dan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk
memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran kehadiran Tuhan. Keduanya
sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah
yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering
dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan
agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara
sains dan agama. Namun, hendaknya terlebih dahulu dipahami konsep dan paradigma
sains menurut para ilmuwan. Secara terminologi, sains berarti ilmu pengetahuan
yang sistematik dan obyektif serta dapat diteliti kebenarannya ( M. Ridwan,
dkk, dalam Anonim, 2008 ).
Sedangkan
menurut Achmad Baiquni dalam Anonim (2008) mendefinisikan sains sebagai himpunan
pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar
pada penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis
terhadap data-data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala
alam.
Melalui proses pengkajian yang dapat
diterima oleh akal, sains disusun atas dasar intizhar pada gejala-gejala
alamiah yang dapat diperiksa berulang-ulang atau dapat diteliti ulang oleh
orang lain dalam eksperimen laboratorium. Kata intizhar (nazhara) dapat berarti
mengumpulkan pengetahuan melalui pengamatan atau observasi dan pengukuran atau
pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup maupun yang tak
bernyawa. (Abuddin Nata dalam Anonim, 2008).
1.
Dalam mencermati konsep sains, Bruno
Guiderdoni dalam Anonim (2008) mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran
terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak
definisi.
Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2.
Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama
berurusan dengan nilai atau makna.
3.
Sains mendekati realitas secara analisis,
sedangkan agama secara sintesis.
4.
Sains merupakan upaya manusia untuk
memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi
tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah
pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan
mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Sebagai penguasa yang memiliki rasa
tanggung jawab, manusia ditunjuk oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di bumi
yang tidak lain adalah untuk memelihara dan mengelolanya. Untuk memperoleh
kemampuan itu, manusia harus mengenal alam lingkungannya dengan baik melalui
pengamatan terhadap alam sekitar dan mengkaji gejala- gejala yang tampak pada
pengamatan itu. Dengan metode yang
sudah ditetapkan, sains mengupayakan pemahaman rasional atas alam fisik hingga
melahirkan keyakinan dan mengikis keraguan. Metodologi yang diturunkan dari
seperangkat aturan dan kriteria yang koheren ini sekarang benar-benar dapat
diinterpretasikan atas dasar fakta-fakta yang dapat diverifikasi oleh siapapun.
(Pervez Hoodbhoy dalam Anonim, 2008).
Sementara itu dalam perjalanan
sejarah sains sering dipandang sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang
obyektif, karena dapat diakses dan dibuktikan kebenarannya oleh banyak orang.
Karakternya yang sekuler, sering mengakibatkan terjadinya benturan dengan
nilai-nilai agama. Seperti yang berkembang pada abad lalu, para saintis Barat
menganggap bahwa agama lahir dari keyakinan terhadap unsur-unsur yang
menyertainya. Sedangkan sains dianggap pasti berdasarkan akal, sebab
fakta-faktanya dapat dibuktikan dan diakui kebenarannya. Mereka berfikir bahwa
nalar memiliki fondasi tersendiri tanpa harus merujuk kepada realitas
transenden. Sejak saat itu, dunia sains di Barat terbangun dengan sikap
menyingkirkan agama dari kontek pencarian pengetahuan. (Bruno Guiderdoni dalam Anonim,2008).
Paham sekularitas sains inilah yang kerap menimbulkan kontroversi dalam
hubungannya dengan agama.
Oleh karena itu,
Ian G. Barbour dalam Anonim (2008) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan
memebuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi
perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan
keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan
agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah
satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu:
Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda
satu sama lain.
1. Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada
abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick,
Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama
dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan
pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara
keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang
bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya.
Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Pertentangan antara kaum agamawan
dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen
yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak
mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan
penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan
yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan
yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari
pihak gereja. (M. Quraish Sihab dalam Anonim,2008).
Contoh kasus dalam hubungan konflik
ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei
atas aspek pemikirannya yang dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan
gereja Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19.
Armahedi
Mahzar dalam Anonim (2008) berpendapat tentang hal ini, bahwa penolakan fundamentalisme
religius secar dogmatis ini mempunyai perlawanan yang sama dogmatisnya di
beberapa kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran mutlak obyektivisme sains.
Identifikasinya adalah bahwa yang
riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan dengan hubunagn matematis. Mereka juga
berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut paham ini cenderung
memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi
kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah.
Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik
yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama
tidak lebih dari cerita-cerita mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama
sekali dengan sains.
Barbour menanggapi hal ini dengan
argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan
memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna
yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang
yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan
kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang
dipersaksikan oleh agama. (Ian G. Barbour dalam Anonim, 2008).
Jelaslah bahwa
pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya
disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama.
Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan
agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi
perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya.
Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan
kebenaran.
2.Independensi
Tidak semua saintis memilih sikap
konflik dalam menghadapi sains dan agama. Ada sebagian yang menganut
independensi, dengan memisahkan sains dan agama dalam dua wilayah yang berbeda.
Masing-masing mengakui keabsahan eksisitensi atas yang lain antara sains dan
agama. Baik agama maupun sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri
yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai
(Armahedi Mahzar dalam Anonim, 2008). Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah
yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan
bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua
domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi
masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa
bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya
mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan
fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat
pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan
praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut
pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan
sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat
mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam
nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan
tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan
agama.
Contoh-contoh
saintis yang menganut pandangan ini di antaranya adalah seorang Biolog Stephen
Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon Gilkey. Karl Bath menyatakan beberapa hal
tentang pandangan independensi ini, yang dikutip oleh Ian G. Barbour dalam Anonim (2008).
Menurutnya: Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak
dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya
bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya
sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi.,
demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda.
Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi
berdasarkan wahyu Ilahi.
Barbour mencermati bahwa pandangan
ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun
demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan
agama sebagai dua domain yang tidak koheren.
Bila manusia
menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh dari berbagai aspeknya
yang berbeda, dan meskipun dari aspek-aspek itu terbentuk berbagai disiplin
yang berbeda pula, tentunya manusia harus berusaha menginterpretasikan ragam
hal itu dalam pandangan yang lebih dialektis dan komplementer.
3.Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan
antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada
pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama
terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama
lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah
menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk
dialognya adalah dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat
menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
Ian
G. Barbour dalam Anonim (2008) memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan
digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan
hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai
tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat
dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam
menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas
masing-masing.
Dalam menghubungkan agama dan sains,
pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan
bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“.
Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian
pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya
dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan
rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur
pengalaman manusiawi (Ian G. Barbour dalam Anonim, 2008).
Penganut pandangan dialog ini
berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara
sains dan agama memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi,
kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang
banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi
dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang
menyatakan bahwa keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman,
sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Ian G.
Barbour dalam Anonim, 2008). Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi terhadap
kesejajaran konseptual antara sains dan agama, disamping kesejajaran
metodologis.
Dari uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis
menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan
tetap mempertahankan integritas masing-masing.
4.Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan
yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu
diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama
dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan
pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat
memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Armahedi Mahzar dalam Anonim (2008)
mencermati pandangan ini, bahwa dalam hubungan integratif memberikan wawasan
yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara
aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi
bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah
Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern
tentang alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran
inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman
subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas
dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang
alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui
sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi
penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan
bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks
dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu
dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail
struktur organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi acak dalam
proses adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi
dalam anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka
kemungkinan variasi detail organisme tersebut, bukan dalam anggapan Tuhan
sebagai perancang sentral desain organisme.
Ada beberapa pendekatan yang
digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data
ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh
kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan
menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori
ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu
dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains
keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang
sama. Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G.
Barbour dalam Anonim, 2008 )
Meskipun pengamatan ini terjadi di
kalangan saintis Eropa yang dibatasi pada teologi Kristen, tidak ada salahnya
jika umat Islam menyimak proses yang sama di kalangan Islam sebagaimana Bruno
Guidedoni dalam Anonim (2008) mentransformasikan paham integritasnya dalam sains dan
Islam. Dia memandang pengetahuan itu dapat disatukan. Ajaran utama Islam
menggariskan bahwa semua jenis pendekatan terhadap realitas pada akhirnya dapat
dipersatukan dan makna finalnya diperoleh dalam perenungan terhadap wajah Tuhan
di akhirat.
Para saintis tidak dapat
mendefinisikan kebenaran pengetahuannya secara pasti, walaupun dengan
memberikan kriteria-kriteria tertentu untuk membantu perkembangan
pengetahuannya. Adalah sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat menjelajahi
seluruh realitas karena sifatnya yang relatif, membuat pencarian pengetahuan tak
akan ada habisnya dan fenomena baru akan muncul terus-menerus. Akhirnya
mayoritas manusia akan lebih disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang
dunia daripada kontemplasi tentang Pencipta.
Dalam meninjau hubungan sains dan
agama, Penulis akan menunjukkan pandangan keempat tipe hubungan sains dan Islam
terhadap satu tema penting seputar penciptaan alam semesta menurut tesis
Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi.
Sebagian besar astronom abad ke-18
hingga abad ke-19 beranggapan bahwa alam semesta berukuran relatif kecil dengan
usia yang masih muda, kemudian bermunculan teori-teori spekulatif yang
memprakirakan alam semesta yang lebih luas dan lebih tua, hingga pada
gilirannya muncul teori-teori baru kosmologi yang melahirkan isu-isu mendatar
berkaitan dengan agama.
Pandangan
Konflik dihadirkan oleh kalangan Atheis yang mengatakan bahwa keseimbangan gaya
pada alam semesta yang menghasilkan kondisi yang kondusif bagi munculnya
kehidupan dan kecerdasan adalah kebetulan semata.
Manusia secara kebetulan berada di
dalam sebuah alam semesta yang memungkinkan hadirnya kehidupan dan kecerdasan.
Demikian pula pendapat meterialis ilmiah, bahwa kosmologi mengarahkan manusia
kepada faktor kebetulan atau keniscayaan, bukan mengarahkan manusia kepada desain
atau tujuan. Sedangkan kalangan Teolog mengklaim adanya keharmonisan antara
proses kosmik dengan Kitab Kejadian. Sejarah kosmik yang menghasilkan pesona
yang cerdas ditafsirkan sebagai ekspresi dari tujuan Tuhan dan sebagai
manifestasi sifat Tuhan yang cerdas dan personal.
Masih dalam permasalahan yang sama,
pendukung Independensi mengkalim bahwa makna religius dari penciptaan dan
fungsi penciptaan tidak ada kaitannya dengan teori ilmiah tentang proses fisika
kosmologi yang terjadi pada masa lalu.
Gagasan tentang penciptaan yang
dikemukakan adalah bahwa dunia tidak pula menjadi bagian dari Tuhan, atau
berbeda dengan Tuhan. Sejumlah Teolog berbagi pandangan bahwa kitab suci
membawa gagasan yang dapat diterima, tidak tergantung pada kosmologi apapun. Sains
dan agama melayani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia. Tujuan sains
adalah memahami hubungan sebab-akibat diantara fenomena-fenomena alam,
sedangkan tujuan agama adalah mengikuti suatu jalan hidup di dalam kerangka
makna yang lebih besar. Pemisahan tersebut menutup kemungkinan adanya hubungan
positif dan koheren antara sains dan agama.
Pendukung tesis Dialog mengatakan
bahwa sains memiliki perkiraan dan pertanyaan-pertanyaan batas yang tidak dapat
dijawab sendiri oleh sains. Tampaknya, refleksi atas kosmologi memunculkan
pertanyaan-pertanyaan batas. Maka untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sains
itu, mereka menggunakan tradisi keagamaan dengan doktrin biblikal tentang
penciptaan yang memberikan konstribusi penting terhadap kemajuan sains tanpa
merusak integritas sains itu sendiri. Pendukung tesis integrasi merespon
masalah kosmologi ini dengan korelasi yang lebih dekat antara kepercayaan
keagamaan dengan teori ilmiah daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis
Dialog.
Gagasan
mereka adalah bahwa Tuhan benar-benar mengontrol semua peristiwa penciptaan
yang tampak oleh manusia sebagai kebetulan. Manusia dapat melihat desain proses
keseluruhan di dalam kehidupan yang terjadi dengan kombinasi dan ciri proses
tertentu. Keindahan bumi yang luar biasa mengekspresikan rasa syukur atau
berkah kehidupan serta bentangan ruang dan waktu kosmos yng tak terbayangkan,
memperlihatkan kerja Sang Pencipta yang diidentifikasi bertujuan sebagai
tatanan pemikiran bagi manusia bahwa segala sesuatu terjadi menurut perencanaan
yang sangat terperinci dan dalam kontrol total Tuhan (Ian G. Barbour dalam Anonim, 2008 ).
Setelah meninjau pandangan keempat
tipe hubungan sains dan agama dalam merespon masalah penciptaan, penulis lebih
mendukung dan mengakomodasi pendekatan integrasi dalam menghubungkan sains dan
Islam, karena dalam hubungan integrasi ini keanekaragaman realitas yang relatif
sepadu dengan Kesatuan Realitas yang Mutlak. Di mana realitas sains memiliki
konvergensi dengan realitas yang diungkapkan Al-Qur’an mengenai fenomena alam
dan manusia. Tanpa integritas keduanya, manusia akan terus menghadapi
problematika modernitas sains di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
Sumber : Anonim(2008). Empat Tipologi Hubungan Sains dan Agama. http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/04/16/empat-tipologi-hubungan-sains-dan-agama/. 18 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar