Sains dan Agama
Sains dan agama pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Menurut Sugiharto dalam Kurniasih (2010), perbedaan pertama adalah dalam hal tatanan
pemikiran. Ilmu bersandar pada etos otonomi pemahaman dan sikap
ilmiah yang bermula dari keberanian berpikir dan mengamati sendiri
tanpa bersandar pada pendapat orang lain. Sikap skeptis dan tak mudah
percaya adalah kodrat seorang ilmuwan. Sebaliknya agama, sikap
dasarnya adalah percaya dan kepasarahan pada kehendak otoritas lain,
yaitu Tuhan. Kedua, ilmu relatif terbuka terhadap pandangan-pandangan
baru asalkan masuk akal dan ditunjang bukti faktual yang memadai.
Sebaliknya agama, meski diyakini bahwa manusia wajib menggunakan
akalnya untuk memahami wahyu atau kitab suci, pada kenyataannya
agama-agama cenderung defensif terhadap pemahaman-pemahaman baru.
Ketiga, ranah utama wacana agama-agama adalah ranah misteri-misteri
dalam kehidupan dan makna-makna pengalaman, yang sesungguhnya di luar
wilayah atau di luar batas jangkauan ilmu-ilmu empirik.
Manusia mengembangkan pengetahuan untuk mengatasi kebutuhan dalam
kelangsungan hidupnya. Manusia terus berupaya menemukan hal-hal baru
demi mencapai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar
kelangsungan hidup. Sumantri dalam Kurniasih (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan
mampu dikembangkan manusia karena manusia memiliki bahasa sehingga
mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikirannya yang
melatarbelakangi informasi tersebut. Manusia juga mampu mengembangkan
pengetahuan karena memiliki kemampuan berpikir menurut alur kerangka
berpikir tertentu.
Selanjutnya diuraikan bahwa pengetahuan yang digunakan dalam
penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Kelompok
yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan
paham yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan kelompok
yang menyatakan fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia
sebagai sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Kualitas ilmu dan teknologi meningkat karena adanya penalaran ilmiah.
Penalaran ilmiah merupakan penggabungan penalaran deduktif dan
induktif. Penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme, sedangkan
penalaran induktif dengan empirisme.
Agama dan Sains Berada pada Wilayah Berbeda dalam Pencarian Makna
Dalam pandangan ini, hubungan antara sains dan agama berlawanan,
dianggap bertolak belakang, dan tak bisa dipertemukan. Pandangan
seperti ini terjadi sekitar abad ke-17. Agama dan sains dilihat
saling bertarung untuk membenarkan dirinya sendiri.
Pendekatan independent pada sains dan agama
dikarenakan kemunculam dan keberadaan sains dan agama menggunakan
bahasa dan metode berbeda. Bahasa agama mengekspresikan cara hidup
melalui ritual-ritual, cerita-cerita, dan praktek beragama dalam
komunitas religi. Agama memberi kerangka kosmik mengenai makna dan
tuntunan praktis dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, sains
berkembang dari pertanyaan yang spesifik untuk menginterpretasikan
fenomena alam. Sains menggunakan metode observasi peristiwa,
fenomena, dan proses yang kemudian dianalisis (Indriati dalam Kurniasih, 2010).
Agama dan sains saling memberikan bantahan atas dalil masing-masing.
Misalnya saja perdebatan mengenai bagaimana nilai-nilai muncul di
alam semesta ini. Kubu agama berpendapat nilai-nilai itu muncul dari
sebuah kesucian, muncul dari Tuhan. Alam semesta ini adalah hirarki
dari nilai-nilai. Sedangkan menurut kubu sains, nilai-nilai itu
muncul ketika manusia memulai sejarahnya. Sejarah alam semesta,
disepakati para ahli dimulai sejak 13,7 miliar tahun lalu, seperti
disebutkan oleh teori big bang (ledakan besar).
Selanjutnya menurut Sakir dalam Kurniasih (2010) disebutkan bahwa
dalam sejarah kehidupan manusia, hubungan sains dan agama tak bisa
dikata selalu harmonis. Sejarah mencatat bagaimana klaim sepihak
lembaga agama telah menjadikan Galileo (1564-1642) sempat diancam
hukuman mati karena dengan lanrtang bersuara bahwa matahari adalah
pusat alam semesta (heliosentris), padahal keyakinan massa pada waktu
itu bumi adalah pusat tata surya (geosentris). Hifzhillah Kurniasih (2010) menjelaskan juga bahwa Gelileo merintis pranata
sains modern yang menekankan logika dan metode eksperimen untuk
menggantikan pendekatan filsafat spekulatif Aristotelian yang
diyakini masyarakat luas. Pada masa itu, gereja marah karena Galileo
menyuarakan pandangan Copernican yang dianggap bertentangan dengan
kitab suci.
Sebelumnya, Arsitoteles juga pernah menghentak keyakinan massa ketika
mengatakan bahwa planet bumi itu bulat, bukan datar sebagaimana
diyakini pada saat itu. “Sentimen” lain agama terhadap sains
adalah dalam melihat teori evolusi Darwin. Bagi kaum materialistis
Darwin, alam semesta ini tidak memiliki nilai-nilai. Insting etika
hanya merupakan cara (manusia) untuk beradaptasi dengan kerasnya alam
semesta ini. Sedangkan moralitas (sama halnya dengan jenis kelamin)
diciptakan oleh gen-gen manusia sebagai cara membawa manusia ke
generasi mendatang.
Jadi, konflik agama dan sains di masa lalu terjadi ketika gereja
bertindak represif terhadap kaumnya. Gereja bisa memaksakan keinginan
tertentu yang dilandasi argumen kitab suci. Saat gejala perbedaan
pandangan terjadi, gereja dapat menunjukkan ego kekuasaannya dengan
menindak pembangkang dengan leluasa, karena dikhawatirkan sains akan
merusak keimanan kaum awam.
Bagi kaum muslim, pada saat ini ditemukan fakta bahwa Negara-negara
Islam secara umum tertinggal dalam bidang sains. Padahal bila
penguasaan sains dan teknologi lemah, maka kelangsungan hidup akan
dijalankan dengan seadanya atau berkualitas rendah. Kemunduran
ilmuwan muslim salah satunya disebabkan banyak orang islam yang
merasa curiga terhadap sains (Azra, 2005). Di banyak bagian Dunia
Islam, sains masih dianggap sebagai aktivitas intelektual empiris
yang asing dan tidak sesuai dengan Islam. Persepsi dan sikap yang
disayangkan ini diwarisis oleh Dunia Islam sejak abad ke-12, paling
tisak selama masa perlawanan terhadap sains tumbuh cepat di antara
fuqaha (ahli fiqih) dan mutakallimun (ahli kalam) yang secara umum
dianggap sebagai representasi islam ortodoks yang sebenarnya. Azra dalam Kurniasih (2010) menyimpulkan
bahwa teolog ortodoks menganggap bahwa hanya ilmu-ilmu bermanfaaat
yang dibutuhkan atau berguna dalam praktik keagamaan (ibadah).
Ilmu-ilmu lainnya tidak benilai dan hanya menjauhkan orang Islam dari
jalan yang lurus. Perlawanan muslim orodoks terhadap ilmu pengetahuan
rasional dan empiris pada akhirnya menciptakan jarak pemisah antara
yang disebut dengan ilmu-ilmu agama yang berasal dari ayat-ayat
Al-Quran (al-ayah al-qur’aniyyah) di satu sisi, dan “non-ilmu-ilmu
agama” yang berasal dari ayat-ayat kauniyyah (Al-ayah al-kauniyyah)
di sisi lain. Dikotomi semacam ini menyebabkan kemunduran sains dan
teknologi di Dunia Islam.
Menurut
Harun Yahya dalam Kurniasih (2010) konflik Islam dan sains lebih disebabkan karena
umat Islam pada jaman dulu belum bisa menerjemahkan bahasa dalam
Al-Quran ke dalam bahasa ilmiah modern. Umat Islam jaman dahulu
menerjemahkan Al-Quran secara tekstual dan parsial sehingga makna
substanstifnya tidak jelas. Hal ini dikuatkan dengan
penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan yang ternyata
sudah disebutkan terlebih dahulu di dalam Al-Quran dengan bahasa Arab
kiasan.
Karen Khaidir dalam Kurniasih (2010) mengklasifikasi dunia ke dalam dua dikotomi
mitos-logos dan konservatif-modern. Manusia mengembangkan dua cara
berpikir dan memperoleh pengetahuan. Mitos adalah pengetahuan yang
bersifat mistis, memiliki obyek abstrak-supralogis, tidak berdasarkan
fakta, dan ukuran kebenarannya ditentukan oleh rasa. Mitos tidak
dapat ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional, sebaliknya dengan
logos. Logos (ilmu) adalah pemikiran yang rasional, pragmatis, dan
ilmiah. Logos terkait dengan fakta-fakta dan realitas eksternal
sehingga dapat dibuktikan secara empiris. Menurut Amstrong, dahulu
agama menggunakan kedua elemen, baik mitos maupun logos, untuk
menciptakan struktur social kehidupan masyarakat. Logos ada dalam
hukum dan kepemerintahan, sementara mitos memenuhi jiwa manusia.
Sejak Renaissance, logos mulai mendominasi
mitos. Pencapaian luar biasa dalam bidang sains dan teknologi
mengubah pikiran manusia. Euforia kesuksesan sains menyingkirkan
mitos dan menjadikannya hanya sebagai takhayul belaka. Akhirnya
rasionalitas menjadi satu-satunya sarana mencapai kebenaran.
Agama
dan Sains Berada pada Wilayah yang Sama dalam Pencarian Makna
Ditemukannya rumusan fisika quantum oleh Einstein di awal abad 20 mengawali kebangkitan sains modern pasca konflik sains dan agama. Einstein dengan teori relativitasnya mengatakan bahwa tidak mungkin alam diciptakan dengan aturan yang tidak bisa diketahui (Bunyamin dalam Kurniasih, 2010).
Hardiman dalam Kurniasih (2010) menunjukkan bahwa perkembangan
sains tidak berlangsung linier, homogen, dan rasional (dalam arti
akumulatif dan progresif) seperti yang dikira orang sampai saat ini.
Sains berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma
lama dan menggantikannya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar
dalam paradigma lama akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu
paradigma baru dengan kebenaran-kebenaran baru di dalamnya. Hal yang
paling sentral di sini adalah padangan bahwa perubahan paradigma
dalam sejarah sains tidak termasuk wilayah logis hukum-hukum alam,
melainkan terjadi seperti proses “metanoia” (pertobatan) dalam
agama. Hal ini mengakibatkan teori-teori dalam paradigma yang satu
tidak dapat dibandingkan dengan teori-teori dalam paradigma yang
lain.
Selanjutnya dijelaskan, Kuhn berhasil menunjukkan bahwa sains tidak
memiliki “mata Allah” untuk keluar dari konteks spasial-temporal
dan mengeluarkan klaim-klaim makna absolute. Sains juga kontingen
terhadap sejarah dan komunitas ilmuwan sehingga kebenaran makna
ilmiah pun beruabah-ubah secara revolusioner. Dengan demikian
pencarian makna dalam sains (kebenaran ilmiah) tidak memiliki
prioritas atas pencarian makna dalam agama. Bahkan pandangan Kuhn
tentang sejarah sains ikut menggugat setiap pandangan yang yakin akan
adanya kebenaran absolute yang bersifat suprahistoris, seperti
misalnya dalam agama.
Danardono dalam Kurniasih (2010) mengusulkan perlunya penggabungan
rasionalitas dan intuisi. Menurutnya manusia dan alam semesta bukan
lagi dua entitas yang terpisah-manusia tidak menstransendir alam.
Selanjutnya, Bunyamin dalam Kurniasih (2010) mengungkapkan bahwa
ada paralelisme antara mistisisme timur (Konghucu, Konfusian, dan
agama timur lainnya) dengan fisika baru (dalam hal ini sains modern).
Paralelisme tersebut dapat menjadi penyatu manusia dalam memasuki
kehadiran kemajuan teknologi.
Ilmuwan lainnya, Leahy mencatat bahwa sains dan teknologi hanya
mungkin berkembang setelah agama-agama monoteisme muncul dan
membersihkan mentalitas takhyul dan sihir yang ada pada manusia
(Danardono dalam Kurniasih, 2010). Perbedaan ontologism antara
Pencipta dan ciptaanNya ini yang membuat dunia menjadi sakral dan
provan. Sebagai contoh air terjun adalah ciptaan Allah dan bersifat
sakral, air terjun yangsama juga bersifat provan karena dapat
dimanfaatkan untuk membangkitkan energi. Itu sebabnya temuan-temuan
sains tidak mungkin dijadikan dasar ateisme. Temuan-temuan sains
dilakukan di wilayah spasio-temporal, sementara Allah (monoteisme)
tidak berada di wilayah spasio-temporal.
Berdasarkan argumentasi perbedaan ontologism (spasio-temporal) antara
Allah sebagai pencipta dan alam semesta sebagai ciptaan, Leahy
menunjukkan bahwa sains tidak mungkin dan tidak perlu konflik dengan
agama. Sains justru dapat mendukung orang-orang beriman bahwa
rasionalitas alam semesta seperti yang ditemukan lewat sains dapat
terjadi karena alam semesta ini memang diciptakan secara rasional.
Mentalitas rasional orang-orang beriman tidak akan membuat orang
menjadikan Tuhan sebagai sekedar “penutup lubang”, karena belum
terjelaskannya fenomena alam semesta ini oleh sains. Dengan kata lain
sains tidak dapat menggantikan iman.
Perspektif penyatuan dalam islam tidak pernah mengizinkan berbagai
pengetahuan dikembangkan secara bebas satu dengan yang lain. Sains
masuk ke dalam lingkungan para ilmuwan Muslim dari perkawinan antara
spirit yang berasal dari pewahyuan Al Qur’an dan sains yang hidup
dari berbagai peradaban yang diwarisi umat Islam. Rekonsiliasi dan
reintegrasi antara dua kelompok keilmuan (al-quraniyyah dan
al-kauniyyah) berarti kembali pada kesatuan transenden semua ilmu
pengetahuan (Azra dalam Kurniasih, 2010).
Agama
dan Sains adalah Dua Perspektif Berbeda yang Ingin Menjelaskan Dunia
dan Kehidupan
Agama dan sains sama-sama merupakan bagian penting dalam kehidupan
manusia. Keduanya dibutuhkan manusia dalam menjalani hidup di dunia.
Oleh karena itu, tidak perlu mempertentangkan keduanya, namun juga
tidak harus menyatukannya, karena yang satu melengkapi yang lainnya.
Sebenarnya baik sains maupun agama memiliki dua sisi, intelektual dan
sosial. Agama bisa didekati dengan rasional dan empiris. Sementara
sains pun bisa berwajah sosial, tidak melulu urusan rasional dan
empiris.
Sakir dalam Kurniasih (2010) menyatakan baik agama maupun sains
merupakan dua bidang yang sama-sama memiliki ruang dan wilayah kerja
sendiri-sendiri. Meskipun tidak perlu diselaraskan, keduanya harus
saling menghormati otoritas masing-masing.
Modernisasi, dicapai melalui peningkatan teknologi karena adanya ilmu
pengetahuan. Hasilnya, hidup semakin nyaman karena teknologi
dikembangkan untuk membuat hidup semakin mudah. Namun kemudahan
tersebut tidak jarang menjadikan manusia lupa akan kodratnya sebagai
makhluk. Hal ini seringkali membawa dampak dikesampingkannnya agama.
Apabila masyarakat hanya mementingkan ilmu, dan meninggalkan agama
maka agama akan tidak lagi memiliki peran strategis dalam kehidupan.
Akibatnya akan terjadi krisis spriritual, yang mengakibatkan hidup
menjadi kering. Akibat selanjutnya, manusia kehilangan fungsi sebagai
makhluk social dan makhluk ciptaanNya.
Dhani dalam Kurniasih (2010) menyatakan bahwa bagaimana pun ada perbedaan cara
berpikir sains dengan agama. Agama berjalan dengan keyakinan, sebuah
faith, sedangkan sains justru dimulai dari skeptisisme,
keragu-raguan terhadap sesuatu. Skeptisisme ini yang membuat sains
terus maju. Belajar sains adalah juga belajar rendah hati, mau
mengakui kekurangan dan keterbatasan manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya. Sains yang secular juga dapat mempertebal keimanan,
namun iman juga dapat goyah oleh sains yang dicampuradukkan dengan
agama
Hubungan Agama dan Sains dalam Perspektif Islam
Hubungan Agama dan Sains dalam Perspektif Islam
Di dalam konsepsi Islam, menurut Dinar dalam Kurniasih (2010), agama adalah sains (ilmu) begitu juga sebaliknya, sains adalah agama. Hal ini disebabkan karena hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Melihat fakta tersebut agama dan sains adalah sejajar. Menuntut ilmu bisa dikategorikan fardhu kifayah ataupun fardhu ain.
Hubungan sains dan agama akan lebih menyerupai pandangan imam
Al-Ghazali, bahwa mendalami ilmu agama bagi semua orang adalah
kewajiban pribadi atau fardhu ain, sedangkan mendalami ilmu umum
(sains) adalah fardhu kifayah. Seseorang yang mendalami
sumber-sumber ajaran agama Islam akan memperoleh inspirasi yang
bersifat deduktif untuk mengembangkan bidang ilmu yang ditekuni.
Sebaliknya, penguasaan ilmu yang ditekuni dapat memberi sumbangan
pada upaya pemaknaan Kitab Suci (Al-Qur’an) dan hadits (Suprayogo dalam Kurniasih,
2010). Dengan kata lain sains dan agama berdiri
sendiri dan keduanya saling mendukung serta saling membantu dalam
kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya disebutkan pula, sains identik dengan pemenuhan kebutuhan
duniawi, seperti teknologi, intelektual, kesehatan, dan kemakmuran.
Sementara agama lebih focus terhadap pemenuhan kebutuhan rohani dan
tata cara pergaulan hidup. Dengan demikian agama memerlukan sains,
dan begitu pula sebaliknya. Jika agama mempersenjatai diri dengan
sains maka kepentingan keduniaan seperti pengentasan kemiskinan,
kebodohan, ketertinggalan bisa dicarikan penyelesaiannya. Sebaliknya
sains harus memberikan kesempatan pada agama untuk mengisi dan
menyempurnakan kekosongan jiwa manusia dengan esensi nilai-nilai
spiritual.
Golshani dalam Kurniasih (2010) menyatakan bahwa salah satu ciri yang membedakan
Islam dengan yang lain adalah penekanannya terhadap ilmu (sains). Al
Quran dan Al Sunnah mengajak kaum Muslim untuk mencari dan
mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa Al Qur’an menghargai orang-orang yang
berilmu, yang dapat menunjukkan keagungan dan kehebatan ciptaan Allah
dan yang memiliki kerendahan hati bahwa apa yang dihasilkan oleh ilmu
mereka menunjukkan kekuatan Ilahi dan kebesaran-Nya. Hal-hal tersebut
ditekankan oleh ayat-ayat dalam Al-Qur’an seperti :
Dan perumpamaan- perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia, dan
tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (QS 29-43).
Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari
ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim (QS 29:49)
Sebagaimana
disebutkan oleh ayat-ayat di atas, memahami tanda-tanda Pencipta,
hanya mungkin bagi orang terdidik dan bijak yang berjuang menggali
rahasia-rahasia alam dan yang telah mendapatkan ilmu di bidang-bidang
studi masing-masing. Oleh karena itu,
penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan seharusnya bisa
menjadikan manusia lebih sadar akan hakikat kebenaran agama dan
segala aturannya.
Sains dalam Islam pada akhirnya adalah semacam penafsiran alegoris
atas alam empiris yang membentuk alam tabi’i (Al-Attas, 1995). Oleh
karena itu sains harus menyandarkan diri pada penafsiran makna-makna
yang jelas atau tampak dari benda-benda di alam.
Bucaille dalam Kurniasih (2010) menjelaskan bahwa dalam Qur’an ditemukan
keterangan-keterangan tentang fenomena-fenomena alamiah, yang hanya
dapat difahami melalui pengetahuan ilmiah modern. Asal usul manusia
merupakan salah satu hasil pengkajian mendalam, yang menghasilkan
kesimpulan bahwa sains dan agama selaras. Pengkajiannya terhadap Al
Qur’an menunjukkan bahwa Al Qur’an sepenuhnya bebas dari
pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan penemuan-penemuan
sains modern.
Menurut Bucaille dalam Kurniasih (2010), Quran memang bukan buku yang menerangkan
hukum-hukum alam. Quran mengandung tujuan keagamaan yag pokok. Ajakan
untuk memikirkan tentang penciptaan alam ditujukan kepada manusia
dalam rangka penerangan tentang kekuasaan Tuhan. Ajakan tersebut
disertai dengan menunjukkan fakta-fakta yang dapat dilihat manusia
dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mengatur alam,
baik dalam bidang sains maupun dalam bidang masyarakat kemanusiaan.
Sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nahl (16) ayat 12 :
“ dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaaan
Allah) bagi kamu yang memahaminya.”
Manusia dapat membandingkan berita dalam Quran yang dikuatkan oleh
sains modern dengan contoh-contoh dari para ahli zaman kuno yang
tanpa ragu-ragu memprediksi fakta-fakta yang telah diakui
kebenarannya oleh sains. Namun demikian para ahli tersebut tidak
dapat sampai kepada fakta-fakta itu dengan cara deduksi ilmiah,
mereka mencapainya dengan memakai cara berpikir filsafat (Bucaille dalam Kurniasih,
2010). Pemikiran para ahli (di antaranya Copernicus) mengenai
matahari dan tata surya juga telah diberitakan dalam Quran.
Sebagaimana disebutkan dalam Surat Nuh (71) ayat 15-16 :
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah menciptakan tujuh
ruang angkasa bertingkat-tingkat?”
“Dan diciptakan-Nya dalam ruang angkasa itu bulan bercahaya (karena
dapat cahaya dari matahari) dan matahari bersinar (memancarkan
cahaya).”
Di
samping ayat-ayat yang khusus menggambarkan penciptaan langit dan
bumi, ada lebih dari 40 ayat Quran yang memberikan
keterangan-keterangan tambahan mengenai astronomi. Kata “Orbit”
pun adalah terjemahan kata bahasa Arab : “falak”.
Hasil
pengetahuan modern meramalkan bahwa dalam beberapa miliar tahun,
kondisi system matahari tidak lagi seperti sekarang. Syrat Yaasin
(36) ayat 38 menyebtukan matahari mengarah ke tempat yang khusus.
Tempat khusus itu telah dibenarkan oleh astronomi modern dan
dinamankan Solar Apex; sesungguhnya system matahari berkembang dalam
angkasa menuju ke suatu titik dalma Konstelasi Hercules (alpha
lyrae), di dekat bintang Vega yang hubunganya sudah diketahui benar,
dengan gerak system matahari mempunyai kecepatan 19 kilometer per
detik (Bucaille dalam Kurniasih, 2010). Perincian-perincian astronomi dalam Quran
tersebut dapat dikatakan sesuai dengan hasil-hasil sains modern
Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara
dikotomik ditenggarai menjadi penyebab terjadinya kemunduran umat
Islam sejak abad ke-12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsikan
bahwa ajaran Islam hanya mencakup fiqih, tauhid, akhlak-tasauf,
tarihk dan sejenisnya, disadari atau tidak, telah menjadikan umat
Islam tertinggal dari komunitas lain (Suprayogo dalam Kurniasih, 2010).
Golshani dalam Kurniasih (2010) menjelaskan konsepsi Islam tentang ilmu pengetahuan
yang menganjurkan bahwa dalam pencarian ilmu tidak hanya terbatas
pada ajaran khas syariah, namun juga berlaku untuk setiap pengetahuan
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT terlepas apakah itu ilmu
teologi, teknologi, ataupun yang lainnya. Allah SWT menganjurkan
kepada manusia untuk melihat dan memikirkan akan keteraturan dan
system koordinasi di dalam setiap penciptaan dan kejadian alam
semesta raya ini. Memahami ilmu-ilmu kealaman akan menggiring manusia
dalam mengenal Tuhannya.
Pernyataan di atas sesuai dengan Sa’id dalam Kurniasih (2010) yang menyebutkan
bahwa elemen ilmu pengetahuan adalah Qauliyah (Ilmu Kitab Suci,
Theological), Kauniyyah (ilmu alam, Nomothetic), dan Nafsiyah (Ilmu
Kemanusiaan, Hermeneutical). Elemen ilmu pengetahuan tersebut
sebagaimana disebutkan dalam Al Fusilat 153 :“ Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di segenap
ufuk dan pada diri mereka sendiri”. Hubungan ketiga elemen ilmu
tersebut digambarkan pada Gambar 2.
QAULIYYAH
(Ilmu Kitab Suci, Theological)
KAUNIYYAH NAFSIYAH
(Ilmu Alam, Nomothetic) (Ilmu Kemanusiaan, Hermeneutical)
Hubungan
Elemen Ilmu Pengetahuan
Sumber :
Sa’id dalam Kurniasih , 2010
Belajar sains pada dasarnya adalah belajar rendah
hati. Betapa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan
sebagai makhluk ciptaanNya. Dengan belajar sains manusia belajar
‘membaca’ ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam semesta.
Ilmu bersifat tidak terbatas karena obyek ilmu tidak ada batasnya. Di
sisi lain, ada suatu batas kebenaran dalam setiap obyek ilmu,
sehingga pencarian ilmu yang benar adalah suatu pencarian yang tanpa
akhir. Ilmu mengenai kebenaran-kebenaran dunia lahiriah dapat dicapai
dan bertambah melalui penelitian yang dilakukan para ahli.
Kebenaran adalah dirinya sendiri, yang tidak lebih dan tidak kurang.
Bagi setiap kebenaran, ada batas yang sepadan dengannya. Ilmu tentang
batas tersebut adalah kearifan atau hikmah. Dengan hikmah setiap
kebenaran mendapatkan makna yang tepat.
Melalui kajian ilmiah, mungkin sekali manusia menemukan kebenaran,
tapi kebenaran yang dicapai manusia adalah kebenaran nisbi. Novrianto dalam Kurniasih
(2010) menjelaskan, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa bahkan Nabi
menyebutkan bahwa kebenaran adalah barang tercecer (dlallat)
yang perlu dipungut oleh setiap muslim. Dengan demikian, dalam konsep
Islam pemilik kebenaran mutlak hanyalah Tuhan semata.
sumber : Kurniasih, Augustina (2010). HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA . http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/HUBUNGAN-SAINS-DAN-AGAMA.doc . 16 November 2012
sumber : Kurniasih, Augustina (2010). HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA . http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/HUBUNGAN-SAINS-DAN-AGAMA.doc . 16 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2019 ford edge titanium for sale
BalasHapus2019 ford titanium alloy nier edge titanium - a Japanese game made for stainless steel vs titanium apple watch the Sega Genesis. Includes a case and titanium white rocket league a case. It titanium men\'s wedding band will be available from Nov titanium ingot 22 until Feb 22.