Lima Paradigma Hubungan Islam dan Sains
Sains didefinisikan sebagai sebuah
usaha yang sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam
sebuah bentuk penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.
Sebagian sains sudah ada sejak
sebelum Islam datang. Sains tentang
panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan Phytagoras,
matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika sudah ditemukan
Archimedes (wafat 212 SM). Sains
tentang Astronomi sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM). Sains tentang banyak hal dicoba dirumuskan
oleh Aristoteles (wafat 322 SM).
Beberapa jenis sains ini masih
dicampuri berbagai mitos, filsafat, kecenderungan spiritual tertentu, aksioma
yang tidak berdasar, atau harapan-harapan palsu. Astronomi masih dicampuri dengan ramalan
nasib, dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.
Ketika Islam datang, Islam
memberikan sejumlah hal, yang kemudian generasi selanjutnya mereview hubungan
antara iman-Islam dengan sains. Dalam
perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam & Sains.
1.
SAINS – ISLAM
Adalah Rasulullah sendiri yang
ditunjukkan dalam hadits tentang kasus penyerbukan kurma, yang menunjukkan
bahwa urusan sains & teknologi adalah “urusan kalian”. Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk
mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa ditemukannya
sendiri dengan sains. Qur’an bicara
hal-hal ghaib tentang masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit,
saat penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi &
langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk menghadapi
pengadilan. Ini adalah hal-hal yang
tidak mungkin diuji dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di
dalam Qur’an. “When the science end,
begin the faith”. Islam memberikan
kepada manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar
pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku pencipta
manusia. Bahwa di balik halal – haram
itu bakal ada hikmah pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar
diberlakukannya norma tersebut. Seorang
muslim mematuhi norma itu karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti
tidak akan memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka
panjang, sekalipun kita belum tahu secara saintifik.
Karena itu, para ilmuwan generasi
salaf, menjadikan Islam sebagai motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai
ke Cina, atau inspirator dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung
selintas di dalam Qur’an. Mereka
mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya Ptolemeus, lalu
dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak observatorium, karena dorongan
ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana langit
ditinggikan?”. Mereka menjadikan syariat
Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh selama
mencari ilmu itu. Maka mereka yakin
bahwa ilmu sihir tidak boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar,
karena ilmu itu menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan
penuh kesyirikan. Dan mereka juga
menjadikan Islam sebagai arah bagaimana ilmu itu diamalkan. Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras
agar setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia
yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang
mengalir terus meski ditinggal mati.
Sains dan teknologi tidak dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu
al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.
2.
ISLAMISASI SAINS
Pola islamisasi sains sebenarnya
baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak lagi memiliki
ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia. Islamisasi Sains berusaha menjadikan
penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam. Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat
melihat proses terbentuknya janin di dalam perut, atau penemuan kecepatan
cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan
makin mempertebal iman seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains,
karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu.
Inilah hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang
menonjol adalah Harun Yahya. Hubungan
ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar
menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk),
karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan
ini belum berhasil mendorong kreatifitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan
fakta sains baru. Hubungan ini juga bisa
berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus
dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model analisis yang baru.
Di luar paradigma ini ada
usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar yang ada pada
“sains-sekuler” saat ini dengan Islam.
Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika, dengan
alasan yang kekal hanya Allah. Tetapi
sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri,
karena yang dimaksud “kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan
pada skala laboratorium”. Fisika tidak
membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat nanti, karena tidak
bisa diuji. Kita memang mengasumsikan
bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagad raya dan
kapanpun. Mengapa? Karena kita tidak bisa mendapatkan hukum-hukum
fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita hadirkan untuk diuji. Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan
Allah (sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya
(seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan
hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.
3.
SAINTIFIKASI ISLAM
Saintifikasi Islam juga baru muncul
abad-20. Idenya adalah bagaimana agar
perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah. Misalnya bahwa tata cara sholat memang akan
menghasilkan dampak positif secara fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan
mata uang tunggal berupa dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi
ekonomi yang terbaik. Contoh ilmuwan
yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof. Dadang
Hawari. Beliau melakukan riset yang
mendalam dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG),
juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin
melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa.
Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah
saja, dan juga diakui sebagai aktivitas saintifik. Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan
menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan oleh Islam. Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak
produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh
agama.
4.
SAINS TA’WILI
Sains Ta’wili juga baru mengalami
“kebangkitan” di abad-20. Bentuknya
adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu mencoba membuat
postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji teori secara empiris atau
eksperimen. Contohnya adalah, ketika ada
ayat tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang
tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka berkesimpulan
bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta.
Kesimpulan ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi
dasar teknologi ruang angkasa saat ini.
Tetapi para penganut sains ta’wili bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang
benar”. Mereka mengabaikan kenyataan
bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri. Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam
Qur’an, dan itu tidak berarti tidak ada atau tidak akan pernah ada. Existensi es di kutub-kutub bumi tidak
disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada. Demikian juga bahwa suatu ketika mahluk hidup
bisa dikembangbiakkan dengan teknik “cloning”, itu tidak berarti melawan ayat
suci, karena sebenarnya Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu. Sementara itu, di sisi sains juga banyak juga
teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains itu sendiri. Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan
fosil-fosil yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia
menyimpulkan adanya evolusi. Tetapi
bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet menjadi manusia, tentu itu adalah
ta’wil, karena tidak mungkin ada uji experimen untuk evolusi manusia. Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama
(ratusan ribu tahun). Di dunia Kristen,
sains ta’wili atas Bibel mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan
seperti Galileo atau Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja. Di dunia Islam, hal yang sama terulang sejak
abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi menggunakan sains ta’wili untuk
menganggap kafir ilmuwan yang tidak percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.
Contoh lain sains ta’wili banyak
ditemui di dunia kesehatan. Ketika ada
hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”, maka
pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa habatussaudah itu dapat
mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu obatnya, seperti HIV/AIDS, dan
ketika penderita tersebut akhirnya mati juga (karena tidak sembuh), mereka
berkilah, “ya itu karena maut memang tidak bisa diobati”. Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit
apapun bisa diklaim begitu saja. Yang
jelas, perjalanan sejarah ilmuwan kedokteran salaf justru tidak seperti itu. Ibnu Sina, Abu Qasim az-Zahrawi atau Ibnu
an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit seperti habatussaudah. Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke
pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif, dan
tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang ilmiah
sudah dikerjakan.
5.
SAINS SEKULER
Sains sekuler adalah sains yang
mendominasi dunia saat ini, ketika sains sama sekali menolak untuk menerima
keberadaan Tuhan. Akibatnya, Tuhan tidak
boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk apapun, baik itu
sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode ilmiahnya, hingga
aplikasi penemuannya. Ilmuwan yang masih
melibatkan Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak
serius. Tuhan biarlah berada di tempat
terhomat, yang tidak diganggu oleh rumus dan falsifikasi. Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di
tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains.
Yang menyedihkan, sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di
semua mata pelajaran, termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah
Islam.
Sebagian orang mengalami kesulitan
membedakan paradigma-1 (SAINS ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER).
Sebagian penganut paradigma-4 (SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi
paradigma-1 telah terjebak dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil
wahyu yang pasti benar, padahal yang disangka dalil itu masih
mutasyabihat. SAINS ISLAM sangat berbeda
dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi mengembangkan
sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan dalam aplikasi sains,
yaitu teknologi/inovasi. Hasilnya: SAINS
ISLAM akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri
kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi manusia,
bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain; dikembangkan dengan
mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan diterapkan untuk merahmati
seluruh alam, bukan untuk menjajah. untuk lebih jelasnya mengenai materi ini silakham buka ini www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html
sumber : Amhar, Fahmi (2012) . Lima Paradigma Hubungan Islam dan Sains . http://www.facebook.com/notes/fahmi-amhar/lima-paradigma-hubungan-islam-sains/10150807154641921 . 16 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar