Islamisasi Sains
A.
Pengertian Islamisasi Sains
Islamisasi secara bahasa adalah pengislaman atau menjadikan
islam. Jadi islamisasi sains ialah menjadikan islam ilmu pengetahuan dari Barat
agar dapat dan aman dikonsumsi oleh kaum muslimin.
Al Attas mengatakan, bahwa
islamisasi ilmu adalah pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang
didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna serta ungkapan-ungkapan
sekuler.
Banyak pemahaman ilmu pengetahuan
yang terlanjur tersekulerkan dapat digeser dan diganti dengan pemahaman yang
mengacu pada pesan-pesan islam, manakala proyek islamisasi pengetahuan
benar-benar digarap secara serius dan maksimal. Sebagai tindak lanjut dari
gagasan normatif itu para pemikir muslim terus berupaya keras untuk merumuskan
islamisasi pengetahuan secara teoritis dan konseptual yang didasarkan pada
gabungan antara argumentasi rasional dengan petunjuk-petunjuk wahyu.
Jadi pada intinya islamisasi
sains Merupakan proses transformasi sains dari Barat ke dalam islam karena
barat dianggap lebih maju dari islam, dengan memakai penyaringan filosofis.
B. Pendekatan Sains Dalam Islam
Sebelum kita lebih jauh lagi membahas seputar mengenai
islamisasi sains atau ilmu pengetahuan, maka hendaklah kita tentukan atau
bicarakan mengenai pendekatan sains yang ada dalam islam.Terdapat empat
pendekatan yang digunakan dalam sains islam, antara lain:
1. I’jazul qur’an
I’jazul qur’an di pelopori
maurice bucaille yang sempat heboh dengan bukunya”la bible,le coran et la
science(edisi indonesia “bible,al qur’an dan ilmu pengetahuan). Pendekatannya
adalah mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat al-qur’an. Hal ini
kemudian banyak mendapat kritikan lantaran penemuan ilmiah tidak dapat di jamin
,tidak akan mengalami perubahan di masa depan, menganggap al-qur’an sesuai
dengan sesuatu yang berubah berarti menganggap al Qur’an juga bisa berubah.
Kalau kita mau berfikir,berangkat
dari Sumber segala sumber ilmu, yakni sang Maha Ilmu. Sang Maha Ilmu
menyampaikan ilmunya melalui KALAM, dan muncul 2 jalan:
a.
Kalamul Kitab, yakni melalui
kitab-kitab yang kita sebut dengan kitab suci.
Kalamul Kitab, atau Kitab suci,
di sini (lepas dari masalah agama ini meyakini yang itu, agama itu meyakini
yang ini), mengajarkan kepada manusia tentang ilmu-ilmu yang bersifat ritual,
ibadah, pengabdian kepada Tuhannya melalui berbagai cara dan sarana, dan
biasanya juga mengajarkan tentang pokok-pokok yang mesti dilakukan selama di
dunia demi pengabdian kepada sang Maha.Ilmu yang ada di Kitab sucipun
seringkali membicarakan tentang sejarah manusia,tentang keilmuan yang ada di
alam juga, tetapi dengan sumber-sumber yang terbatas sekali. Maka melalui kitab
suci inilah yang kita sebut dengan istilah ilmu-ilmu agama. Dimana muncul dari
dalam kitab suci ini istilah ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu bathin.
b. Kalamul Kaun, yakni melalui ilmu-ilmu pengetahuan umum yang bisa
dipelajari oleh siapapun juga tanpa memandang agama masing-masing.
Kalamul Kaun, atau ayat-ayat
Tuhan yang ada di alam semesta ini, menghasilkan ilmu-ilmu yang bersifat ilmu
Alam dan bersifat ilmu Sosial. Meskipun secara globalnya tetap memunculkan ilmu
yang bersifat ilmiah, bisa dinalar dan ilmu yang tidak bisa di nalar, atau ilmu
methaphisic atau ilmu ghaib.
Ilmu-ilmu Alam menjadi berbagai macam bidang, seperti ilmu Fisika, dengan
derivatifnya teknik fisika, fisika murni, dll, seperti juga ilmu Kimia, dengan
derivatif ilmunya seperti Teknik Kimia, ilmu Biologi, ilmu rancang bangun, dan
masing-masing dari ilmu ini mengandung ilmu-ilmu lain yang lebih spesifik seperti ada ilmu Arsitek, ilmu Desain Produk, dll. Ilmu-ilmu Sosial menjadi berbagai bidang juga, seperti ilmu-ilmu sosial, politik, sejarah, bahasa, ekonomi, dan lain-lain.Dan masing-masing dari ilmu-ilmu tersebut, baik dari sisi kalamul kitab maupun dari sisi kalamul kaun, menghasilkan spesialisasi dibidangnya masing-masing. Baik dari sisi ilmu lahirnya, maupun dari sisi ilmu methaphisicnya atau dari sisi ilmu ghaibnya. Dan keseluruhan serta keutuhan ilmu-ilmu di atas itulah yang ada dan menjadi keutuhan ilmu-ilmu yang kita miliki. Tinggal mau kita pelajari semua ataukah tidak. Selama ini yang dipelajari di sekolah hanyalah sedikit sekali tentang ilmu-ilmu
yang berasal dari kitab suci, dan sebagiannya besar adalah ilmu-ilmu yang
bersifat dari ilmu alam dengan meninggalkan ilmu-ilmu yang masuk kategori ilmu non ilmiah. Dalam istilah lain, ilmu-ilmu yang bisa diterima oleh ilmiah, itu dikatakan ilmu barat dan ilmu-ilmu yang belum bisa disebut ilmiah, itu kadang disebut dengan ilmu timur Perpaduan dan persatuan antara ilmu timur dan ilmu barat inilah satu waktu yang akan kita alami dan umat manusia menjadi jaya pada saat tersebut. Kalau di masa sekarang ini, masih tampak sekali dominasi ilmu barat atas ilmu timur, meski secara bertahap sudah mulai muncul kesadaran dari orang-orang barat untuk mulai mengadopsi ilmu timur yang menurut mereka diperlukan dewasa ini seperti, ilmu tusuk jarum dari China, ilmu ramuan obat juga dari China, ilmu jamu-jamuan dari Indonesia, ilmu hipnotis dulu dari daerah timur, dan lain-lain.
Ilmu-ilmu Alam menjadi berbagai macam bidang, seperti ilmu Fisika, dengan
derivatifnya teknik fisika, fisika murni, dll, seperti juga ilmu Kimia, dengan
derivatif ilmunya seperti Teknik Kimia, ilmu Biologi, ilmu rancang bangun, dan
masing-masing dari ilmu ini mengandung ilmu-ilmu lain yang lebih spesifik seperti ada ilmu Arsitek, ilmu Desain Produk, dll. Ilmu-ilmu Sosial menjadi berbagai bidang juga, seperti ilmu-ilmu sosial, politik, sejarah, bahasa, ekonomi, dan lain-lain.Dan masing-masing dari ilmu-ilmu tersebut, baik dari sisi kalamul kitab maupun dari sisi kalamul kaun, menghasilkan spesialisasi dibidangnya masing-masing. Baik dari sisi ilmu lahirnya, maupun dari sisi ilmu methaphisicnya atau dari sisi ilmu ghaibnya. Dan keseluruhan serta keutuhan ilmu-ilmu di atas itulah yang ada dan menjadi keutuhan ilmu-ilmu yang kita miliki. Tinggal mau kita pelajari semua ataukah tidak. Selama ini yang dipelajari di sekolah hanyalah sedikit sekali tentang ilmu-ilmu
yang berasal dari kitab suci, dan sebagiannya besar adalah ilmu-ilmu yang
bersifat dari ilmu alam dengan meninggalkan ilmu-ilmu yang masuk kategori ilmu non ilmiah. Dalam istilah lain, ilmu-ilmu yang bisa diterima oleh ilmiah, itu dikatakan ilmu barat dan ilmu-ilmu yang belum bisa disebut ilmiah, itu kadang disebut dengan ilmu timur Perpaduan dan persatuan antara ilmu timur dan ilmu barat inilah satu waktu yang akan kita alami dan umat manusia menjadi jaya pada saat tersebut. Kalau di masa sekarang ini, masih tampak sekali dominasi ilmu barat atas ilmu timur, meski secara bertahap sudah mulai muncul kesadaran dari orang-orang barat untuk mulai mengadopsi ilmu timur yang menurut mereka diperlukan dewasa ini seperti, ilmu tusuk jarum dari China, ilmu ramuan obat juga dari China, ilmu jamu-jamuan dari Indonesia, ilmu hipnotis dulu dari daerah timur, dan lain-lain.
2.
islamization disciplines
Yakni membandingkan sains modern
dan khazanah islam untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuan
muslim ,penggagas utama adalah ismail raji al faruqi ,dalam bukunya yang
terkenal ,”islamization of knwoledge” 1982 Ide al-faruqi ini mendapat dukungan
yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian “international institute
of islamic though”di washington ,1981 yang merupakan lembaga yang aktif
menggukirkan program seputar islamisasi pengetahuan Rencana islamisasi pengetahuan
al faruqi bertujuan
a. penguasaan disiplin ilmu modern
b. penguasaan warisan islam
c. penentuan relevansi khusus islam bagi setiap bidang pengetahuan
modern
d. pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara
warisan islam dan pengetahuan modern(melalui survey masalah umat islam dan umat
manusia seluruhnya)
e. pengarahan pemikiran islam kejalan yang menuntunnya menuju pola
illahiyah dari allah
f. realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui penulisan
kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam dan menyebarkan
pengetahuan islam.
Ide persatuan dari ilmu timur dan ilmu barat ini bukanlah ide
yang baru
sebenarnya sebab ide ini juga sudah dilontarkan oleh orang Jepang melalui
Komiknya yakni “Dragon Ball” dimana di situ, antara ilmu Timur dan Ilmu Barat dipelajari secara luar biasa. Teknologi permesinan dan dunia robot berkembang demikian pesat, sementara keilmuan dari timur yang berupa silat, beladiri, tenaga dalam dan power-power methaphisic juga berkembang demikian pesat. Dan di situ ditunjukkan oleh penulisnya bahwa sehebat apapun perkembangan teknologi dari dunia barat, tetap tidak akan mampu mengalahkan wujud power yang dikembangkan dari dunia timur.
sebenarnya sebab ide ini juga sudah dilontarkan oleh orang Jepang melalui
Komiknya yakni “Dragon Ball” dimana di situ, antara ilmu Timur dan Ilmu Barat dipelajari secara luar biasa. Teknologi permesinan dan dunia robot berkembang demikian pesat, sementara keilmuan dari timur yang berupa silat, beladiri, tenaga dalam dan power-power methaphisic juga berkembang demikian pesat. Dan di situ ditunjukkan oleh penulisnya bahwa sehebat apapun perkembangan teknologi dari dunia barat, tetap tidak akan mampu mengalahkan wujud power yang dikembangkan dari dunia timur.
Kita punya contoh lain ketika gabungan dari ilmu barat dan ilmu
timur itu dimiliki oleh Ibnu Sina, tokoh kedokteran yang menyembuhkan si pasien
dengan
memadukan antara ilmu Timur dan ilmu Barat.
memadukan antara ilmu Timur dan ilmu Barat.
Mengingat keutuhan dari keilmuan yang ada itulah, maka REVOLUSI
di dalam PENDIDIKAN yang pertama adalah didalam masalah materi PENDIDIKAN yang
memberikan materi secara utuh, baik yang bersifat materi dari Barat, maupun
materi yang bersifat dari Timur. Disemua bidang materi yang diajarkan adalah
meliputi akan 2 hal itu, versi barat dan versi Timur, materi yang bersifat
lahir dan bersifat methaphisic,dan lain-lain.
memberikan materi secara utuh, baik yang bersifat materi dari Barat, maupun
materi yang bersifat dari Timur. Disemua bidang materi yang diajarkan adalah
meliputi akan 2 hal itu, versi barat dan versi Timur, materi yang bersifat
lahir dan bersifat methaphisic,dan lain-lain.
3.
Membangun sains pada pemerintahan
islami
Ide ini terutama pada proses
pemanfaatan sains “dalam lingkungan islam pastilah sains tunduk pada tujuan
mulia”ilmuwan pakistan .Z.A hasymi memasukkan acdus salam dan habibie pada
kelompok ini.secara tidak langsung manusia di beri kebebasan untuk berkreasi
,hanya saja harus seirama denga aturan-aturan tuhan .manusia dengan
segala”perangkat”yang di beri tuhan mampu menciptakan hal-hal baru yangbisa
membantu meringankan bebanya .sains yang didasari dengan kekuatan spiritual
akan menghasilkan emosional yang positif dan akan melahirkan suatu perubahan
yang menjanjikan dan bermanfaat bagi umat manusia dan sebaliknya.lihatlah barat
berbagai penemuan telah mereka dapatkan kemajuan teknologi sekarang sedang
berpihak pada barat tak heran jika di sana muncul berbagai disiplin ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang teknologi.kecanggihan teknologi yang mereka
banggakan mampu membantu mereka untuk mewujudkan ambisinya,bahkan “kekuatan
teknologi “mereka mampu memaksa dunia tunduk dibawah kakinya.hanya saja dalam
perkembangan teknologinya tidak di sertai dengan motivasi spiritual sehingga
menjadikan mereka sombong atas keberhasilannya dan pada akhirnya mereka akan
hancur di telan sejarah.
4.
Menggali epistimologi sains islam
(murni)
Epistimologi sains islam murni
digali dari pandangan dunia islam dan dari sinilah di bangun teknologi dan
peradaban islam .di pelopori oleh ziauddin sardar dalam bukunya”islamic
futures”:the shape of ideas to come.”(1985)edisi indonesia”masa depan
islam”pustaka 1987. Sardar mengeritik ide al-faruqi dengan pemikiran:
1.karena sains dan teknologilah yang menjadi struktur sosial ,ekonomi,dan
politik yang menguasahi dunia. 2.tidak ada kegiatan manusia yang di bagi-bagi
dalam kotak-kotak; psikologi,sosiologi dan ilmu politik. 3.menerima bagian
–bagian disipliner pengetahuan yang di lahirkan dari epistimologi barat berarti
menganggap pandangan dunia islam lebih renda daripada dunia barat. Sardar
mengetahui dengan jelas bahwa ketika barat mengalami jaman kegelapan ,islam
sudah berkembang pesat berbagai penemuan teknologi telah meraka hasilkan ,
meskipun dalam perjalanan sains islam kedepan tidak sesuai dengan yang di
harapkan sang penemu ,mestinya islam sudah mempunyai “embrio”sains untuk di kembangkan
agar tidak “mati” ,tapi kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan mereka
terlena dengan keberhasilan pada pendahulunya sehingga terjadi “kemandekan”yang
berdampak pada kemunduran islam. Jadi pada intinya dalam islam juga
terdapat pendekatan seperti yang telah disebutkan.
C.
Konsep Sains Dalam Islam
Jika kita berbicara mengenai
sains islam hendaklah kita menengok ayat kauniyah yang ada dalam al Qur’an
antara lain yang artinya sebagai berikut:
190. Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dalam ayat tersebut Allah
memerintahkan untuk mencari sesuatu yang ada dibalik alam atau kejadian dan
keajaiban alam dan juga memikirkannya. Karena dengan itu ilmu dapat dicapai
oleh manusia dan pengetahuan dapat berkembang. Ayat itulah yang mengilhami
adanya islamisasi dan sains islam.
Isu sains dan Islam yang
akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dari kalangan akademik dan masyarakat
Islam di Indonesia. Isu ini menjadi hangat karena adanya keinginan, harapan,
dan semangat akan bangkitnya peradaban Islam yang dimotivasi oleh romantisisme
sejarah kejayaan peradaban Islam dalam bidang sains beberapa abad yang lampau.
Studi mengenai sains dalam Islam sebenarnya sudah dibahas secara serius oleh
beberapa sarjana, baik muslim maupun Barat. Secara garis besar, studi ini
mencakup dua aspek, yakni historis dan epistemologis. Dalam tulisan ini saya
akan mendiskusikan kedua aspek ini dan melajutkannya ke dalam konteks
Indonesia. Diskusi sains dan Islam ada baiknya dimulai dari satu peristiwa
monumental yang menandai lahirnya sains modern, yakni Revolusi Ilmiah pada abad
ke 17 di Eropa Barat yang menjadi “cikal bakal” munculnya sains moderns sebagai
sistem pengetahuan “universal.” Dalam historiografi sains, salah satu
pertanyaan besar yang selalu menjadi daya tarik adalah: Mengapa Revolusi Ilmiah
tersebut tidak terjadi di peradaban Islam yang mengalami masa kejayaan
berabad-abad sebelum bangsa Eropa membangun sistem pengetahuan mereka? Bukankan
peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi
filsafat dan ilmu pengetahuan) yang memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah
itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang perlu dipahami. Pertama
adalah sejarah sosial sains di Eropa ketika terjadi Revolusi Ilmiah. Yang kedua
adalah karakteristik internal sistem pengetahuan peradaban Islam yang tidak
memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah. Walaupun membandingkan kedua hal ini
sedikit ambigius, komparasi singkat ini cukup bermanfaat untuk melihat
bagaimana sains modern dan Islam kontemporer bertemu. Ada beberapa tesis yang
kita bisa ambil untuk memahami peristiwa Revolusi Ilmiah di Eropa. Pertama,
Revolusi Ilmiah selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi atau tercabutnya
kekuasaan agama dalam sistem sosial politik yang memungkinkan sains lepas dari
kungkungan institusi agama. Telah banyak diketahui bahwa pada abad 16 dan 17
ketika era Renaissannce, agama sebagai institusi yang sangat dominan dan
hegemonik di Eropa kala itu mengalami perubahan radikal dalam posisinya sebagai
pemegang otoritas penuh segala bentuk kebenaran. Tetapi lepasnya sains dari
otoritas agama tidak menjadikannya independen. Dalam catatan Leonardo Olschki,
terjadinya Revolusi Ilmiah tidak lepas dari proses transformasi pengetahuan
ilmiah ke dalam bentuk utilitas teknis. Menurut Hessen keberhasilan sains
moderen di abad 16 dan 17 didorong oleh runtuhnya sistem ekonomi feodal yang
digantikan oleh sistem ekonomi kapitalisme. Secara spesifik, Hessen merujuk
perkembangan ilmu fisika pada saat itu sebagai bentuk respon terhadap
kebutuhan-kebutuhan teknis dalam industri dan peperangan. Dari catatan-catatan
sejarah tentang Revolusi Ilmiah ini kita bisa memahami bahwa perkembangan sains
moderen di Eropa tidak lepas dari berbagai bentuk kepentingan ekonomi dan
politik. Bahkan, seperti yang dikatakan oleh oleh Sandra Harding, sains moderen
telah menjadi kendaraan bagi praktek hegemoni dan pemenuhan ambisi-ambisi nasionalisme
bangsa Eropa ketika melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain.
Sekarang mari kita menengok ke
sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem pengetahuan yang
dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita jadikan salah satu pegangan untuk
melihat kontribusi peradaban Islam dalam sains. Dalam pengamatannya, peradaban
Islam memang mengimpor tradisi intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi
proses ini tidak dilakukan begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan
melalui proses appropriation atau penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Dengan
demikian peradaban Islam mampu mengambil, mengolah, dan memproduksi suatu
sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang tidak tidak pernah ada
sebelumnya. Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai kontribusi signifikan
peradaban Islam dalam sains. Pertama adalah dalam tingkat pemikiran ilmiah yang
diilhami oleh kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam. Penentuan arah kiblat
secara akurat adalah salah satu hasil dari konjungsi ini. Kedua dalam tingkat
institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada empat institusi penting bagi
perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam, yaitu rumah
sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan observatorium astronomi. Semua
kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu
itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhadap tradisi ilmiah. Lalu
mengapa sains dalam peradaban Islam tidak berhasil mempertahankan
kontinyuitasnya, gagal mencapai titik Revolusi Ilmiah, dan justru mengalami
penurunan? Salah satu tesis yang menarik datang dari Aydin Sadili. Seperti
dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam adalah masuknya unsur agama
dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah penyebab kegagalan
peradaban Islam mencapai Revolusi Ilmiah. Dalam asumsi Sadili, tradisi
intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat
menghasilkan kemajuan ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan
agama. Rekonsiliasi antara sains dan agama tersebut terjadi di peradaban Eropa,
tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi antara dua jenis pengetahuan,
yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil) adalah indikasi
kuat. Permasalahan yang terjadi adalah adanya ketimpangan posisi antara
pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati
posisi sosial politik yang lebih baik sementara status pengetahuan duniawi
berada pada status pelengkap. Selanjutnya, Sadili melihat bahwa salah satu permasalah
krusial gagalnya sains Islam dalam mencapai tahap Revolusi Ilmiah adalah
terpisahnya tradisi filsafat dengan tradisi pemikiran keagamaan. Karena sains
dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan
duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam
mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini
berimplikasi pada berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya
semua tradisi ilmiah tersebut diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.
Keinginan atau obsesi akan
bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisisme
terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang
wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu
peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di
atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju.
Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika
berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban
Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui
prestasi institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi
epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara
seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains
sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan
islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi. Mengapa
masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains
moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan ini
mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen
membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang
masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen
adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang
cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir
sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik
sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup
manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisi seperti
ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains
ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi
pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia.
Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit
tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya
sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas
dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas
justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap
berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak
lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang
lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa
sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya
selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas
dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis
muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.
Penemuan kembali sifat dan gaya
sains Islam di zaman sekarang merupakan salah satu tantangan paling menarik dan
penting, karena kemunculan peradaban muslim yang mandiri di masa akan datang
tergantung pada cara masyarakat muslim masa kini menangani hal ini.
Dalam seminar tentang
“Pengetahuan dan Nilai-Nilai” di Stocholm, 1981, dengan bantuan International
Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS), dikemukakan 10 konsep Islam
yang diharapkan dapat dipakai dalam meneliti sains modern dalam rangka
membentuk cita-cita Muslim. Kesepuluh konsep ini adalah:
Paradigma Dasar:
(1) tauhid — meyakini hanya ada 1 Tuhan, dan
kebenaran itu dari-Nya.
(2) khilafah — kami berada di bumi sebagai wakil
Allah — segalanya sesuai keinginan-Nya.
(3)`ibadah (pemujaan) — keseluruhan hidup manusia harus
selaras dengan ridha Allah, tidak serupa kaum Syu’aib yang memelopori akar
sekularisme: “Apa hubungan sholat dan berat timbangan (dalam dagang)”.
Sarana:
(4) `ilm — tidak menghentikan pencarian ilmu
untuk hal-hal yang bersifat material, tapi juga metafisme, semisal diuraikan
Yusuf Qardhawi dalam “Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”.
Penuntun:
(5) halal (diizinkan).
(6)`adl (keadilan) — semua sains bisa berpijak pada nilai
ini: janganlah kebencian kamu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak
adil. (Q.S. Al-Maidah 5 : 8).
Keadilan yang menebarkan rahmatan lil alamin, termasuk kepada hewan, misalnya:
menajamkan pisau sembelihan.
(7) istishlah (kepentingan umum).
Pembatas:
(8) haram (dilarang).
(9) zhulm (melampaui batas).
(10) dziya’ (pemborosan) — “Janganlah boros, meskipun berwudhu
dengan air laut”. Jadi pada sains islam terdapat dasar-dasar dan konsep yang
saing menguntungkan sesama manusia.
D.
Tujuan Islamisasi
Upaya islamisasi pengetahuan ini
memiliki tujuan yang jelas sekali, yakni secara substansial adalah untuk
meluruskan pemikiran-pemikiran orang islam dari penyelewengan-penyelewengan
sains modern yang sengaja ditanamkan. Untuk itu Fazlur Rahman menyarankan bahwa
tujuan kaum muslim untuk mengislamkan beberapa ilmu pengetahuan tidak
akan bisa dicapai sepenuhnya, kecuali bila mereka secara efektif melaksanakan
tugas intelektual memerinci suatu metafisika islam yang berdasarkan Al Qur’an.
Metafisika islam itu terdiri dari persoalan ghaib dan nyata. Yang semua itu
diungkap dalam Al Qur’an. Karena Fazlur Rahman merupakan orang yang tidak jelas
fahamnya, maka ia mengatakan demikian. Disamping itu islamisasi juga bertujuan
untuk mengajak umat islam untuk berfikir mengkaji al Qur’an, karena sebanarnya
sumber ilmu atau dasar ilmu tersebut sudah ada dalam al Qur’an. Tetapi ada
pandangan yang mengatakan islamisasi bertujuan untuk menjadikan sains barat
menjadi islam.
E.
Langkah-Langkah Islamisasi
Terdapat para tokoh yang
menawarkan langkah-langkah islamisasi, antara lain Ismail Raji Al faruqi dan
Ziauddin Sardar. Mereka masing-masing menawarkan langkah atau cara islamisasi
sebagai berikut:
Menurut Al-Faruqi (1984:99-115),
jalur-jalur mekanisme islamisasi sains adalah : (1) penguasaan disiplin ilmu
modern; (2) survai disiplin ilmu pengetahuan; (3) penguasaan khasanah Islam,
sebuah ontologis; (4) penguasaan khasanah ilmiah islami, tahap analisis; (5)
penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan;
(6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; (7) penilaian kritis
terhadap khasanah Islam; (8) Survai permasalahan yang dihadapi umat manusia;
(9) analisis kritis dan sintesis; (10) penuangan kembali disiplin ilmu modern
ke dalam kerangka Islam, dan (11) penyebaran ilmu-ilmu yang telah
diislamisasikan. Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya Al-Faruqi juga
mencoba bersikap moderat terhadap ilmu-ilmu modern. Hanya saja, dia terkesan
apologetik dengan berangkat dari universalisme Islam (tauhid) yang dimaknai
secara literal dan terkesan agak memaksakan lewat internalisasi nilai-nilai
Islam.
Al-Faruqi tidak secara pasti
mengatakan bahwa titik pijaknya adalah “epistemologi Islam”. Ia agak berbeda
dengan Sardar dan Naquib Al-Attas, yang memandang perlunya untuk membangun
konsep epistemologi Islam sebagai “pandangan dunia” (world
view) Islam. Sardar (1989:44-45) memandang bahwa ciri utama
epistemologi Islam adalah: (1) didasarkan atas suatu pedoman mutlak; (2)
epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif; (3) memandang objektivitas
sebagai masalah umum; (4) sebagian besar bersifat deduktif; (5) memaduka
pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; (6) memandang pengetahuan bersifat
inklusif; (7) menyusun pengalaman subyektif; (8) perpaduan konsep tingkat
kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif; (9) tidak bertentangan dengan
pandangan holistik. Dengan demikian epistemologi sesuai dengan pandangan yang
lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Kedua langkah ini sebenarnya
merupakan langkah yang mempunyai perbedaan dalam segi tehnis saja yang disini
tidak perlu dibahas perbedaan tersebut. Akan tetapi mereka sama-sama menawarkan
konsep pengislamisasian ilmu pengetahuan.
Apabila gagasan bagi modernisasi
ilmu-ilmu islam yang lama dan islamisasi ilmu-ilmu baru mau diciptakan, maka
kedua tonggak orisinal islam-al Qur’an dan Sunnah –mesti ditegakkan kembali
dengan tegar agar semua konformitas-konformitas dan deformitas-deformitas islam
historis bisa dinilai dengan jelas olehnya. Jadi ilmu pengetahuan tidak ada
yang mengklaim dirinya islami selama metodologi yang digunakan masih bersifat
sains barat dan berakar dari paradigma sains modern. Formulasi ilmu kontemporer
yang perlu dibangun bukan hanya harus mensintesiskan apa yang disebut dengan
sains keagamaan dengan sains sekuler, fisik dan metafisik, tetapi harus menempatkan
aspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan. Penempatan ini akan memperoleh
bimbingan dari Tuhan dalam membangun ilmu pengetahuan. Dan hanya ilmu
pengetahuan yang memperoleh bimbingan Tuhan yang mampu menyelamatkan manusia
dari kerusakan akibat ulahnya sendiri.
F.
Manfaat dan Fungsi Islamisasi Sains
Islamisasi sains memberikan
keuntungan berupa epistemologi islam dan juga akan menjadikan peradaban yang
harmonis dan jaya.
Maka islamisasi pengetahuan mesti
diupayakan secara maksimal agar dapat mewujudkan fungsi ganda, yakni sebagai
penyelamat terhadap umat islam, khususnya dari penyelewengan- penyelewengan
penerapan sains barat, dan sebagai pemberi alternatif tentang cara-cara
memperoleh pengetahuan secara dinamis, mencerminkan nilai-nilai ketaqwaan,
kreatif dan produktif yang disebut epistemologi islam.
Disamping itu islamisasi
pengetahuan juga berfungsi menghindarkan sikap latah dengan meniru sistem
barat. Sikap meniru sistem barat itu sungguh berbahaya. Jika kita meniru sistem
tersebut secara membabi buta tanpa membangun infra struktur konseptual kita
sendiri yang kukuh, maka secara tidak langsung kita telah menjadi sahabat
pemberontak intelektual barat yang telah mencemarkan apa yang dinamakan
pengetahuan religius.
G.
Pro dan Kontra Ilmuwan Muslim dalam Islamisasi
Sebenarnya islamisasi pengetahuan
masih menjadi polemik di kalangan umat islam, seolah-olah layaknya barang antik
yang baru diperkenalkan.Para pemikir muslim sendiri sebenarnya masih ada yang
pro islamisasi, mempropagandakan atau bahkan menentangnya.
Para pemikir seperti Ismail Raji
al Faruqi, Ziauddin Sardar dan Muhammad Naquib al Attas merupakan pelopor
proyek islamisasi pengetahuan, meskipun konsep operasional yang ditawarkan
berbeda-beda. Kemudian para pemikir seperti Mohammed Arkoun dan Aziz al Azmeh
menetangnya. Sedangkan Fazlur Rahman tidak jelas kecenderungannya. Mereka
masing-masing mempunyai alasan masing-masing.
Alasan pihak yang pro islamisasi
adalah ilmu pengetahuan dari barat harus diambil dan digunakan untuk memajukan
peradaban islam, sedangkan filternya dengan islamisasi. Disamping itu juga
islamisasi akan menambah epistemologi dalam islam.
Mohammed Arkoun mengatakan, bahwa
usaha yang menjadikan agama suatu ilmu malah mengubah ilmu menjadi agama. Pada
tahap awal seseorang berusaha merumuskan teori-teori pengetahuan berdasarkan
wahyu yang bersifat normatif. Namun akhirnya teori tersebut disnggap sakral,
suci, benar, mutlak dan sejenisnya. Padahal teori ilmu pengetahuan tidak lepas
dari kontribusi pemikiran para ilmuwan yang bisa benar dan bisa salah.
Sedangkan Fazlur Rahman
menyarankan agar kita tidak usah terpikat untuk membuat peta-peta dan
bagan-bagan mengenai cara menciptakan ilmu islami. Marilah kita investasikan
waktu, energi dan uang untuk menciptakan, bukan proposisi-proposisi melainkan
pikiran-pikiran (minds).
Akan tetapi bagaimana kita dapat
merumuskan konsep-konsep pendidikan islam secara ilmiah tanpa adanya
islamisasi. Maka dari itu tetap diperlukan sebagai salah satu epistemologi
islam.
sumber :Fathurrohman, Muhammad (2012). Islamisasi Sains. http://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/10/09/islamisasi-sains/ . 18 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar