Pendekatan Integrasi Interkoneksi

Belakangan sejalan dengan terjadinya proses sekularisasi dan dehumanisasi akibat modernisasi, muncul tuntutan agar kedua pendekatan studi di atas tidak di kotomikan dalam mengkaji islam, tetapi di integrasikan atau di interkoneksikan.Pada prinsipnya, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, islam memang tidak mengenal dikotomi antara agama dan ilmu (sains), jasmani dan rohani, rasio dan empiris, dunia dan akhirat.
Gagasan tentang integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum bukan merupakan fenomena baru dalam khazanah epistemologi keilmuan islam.Pada asanya, islam memang tidak mendikhotomi antara ilmu agam dan ilmu umum.Pada era golden age (masa keemasan) islam periode Abbasiyah, kedua ilmu pengetahuan ini tetap terintegrasi hingga kemudian di buyarkan oleh redupnya dinamika peradaban islam menyusul terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan modern yang bersembnyi di balik politik kolonialisasi dan imperialisasi dunia islam.
Pada era modern islam pasca kolonial hingga sekarang, gagasan ilmu pengetahuan yang integratif bergaung kembali dalam berbagai konsep, semisal islamisasi ilmu pengetahuan, saintifikasi Al-Qur’an, objektifikasi ajaran islam, dll.Keseluruhan konsep ini, grand theme sebenarnya menghendaki atau mengidealkan ilmu pengetahuan islam tidak sekedar menjadi medi dakwah, tapi di kembalikan kepada koetentikanya sebagai sistem ilmu pengetahuan yang memiliki fungsi transformatif dan responsif terhadap isu-isu modern sejalan dengan tuntutan kebutuhan aktual masyarakat.
Terminologi integrasi-interkoneksi mulai ramai diperbincangkan di kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga seiring dengan proses transformasi dari IAIN menuju UIN delapan tahun silam, tepatnya tahun 2004. Transformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 01/0/SKB/2004 dan Nomor ND/B.V/I/Hk.001/058/04 Tanggal 23 Januari 2004, yang diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2004 Tanggal 21 Juni 2004. Proses transformasi ini dilakukan atas keinginan kuat dari segenap stakeholders dan civitas akademika agar lembaga yang semula bernama PTAIN ini berkembang menjadi center of excellent terutama dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Untuk menjawab tantangan itu kemudian dibentuklah tiga tim kelompok kerja (pokja) akademik, menejemen dan administrasi umum. Penulis sendiri terpilih sebagai anggota pokja menejemen yang di antara hasil kerja besarnya adalah lahirnya rumusan visi dan missi UIN Sunan Kalijaga. Sebuah perjalanan terjal dan “berdarah-darah” yang tidak mungkin hilang dari rekaman sejarah hidup penulis. Ketiga tim pokja itu melakukan tugasnya masing-masing guna menghasilkan rumusan besar tentang sosok UIN Sunan Kalijaga yang “integratif-interkonektif”.
Integratif-interkonektif: Kegelisahan Intelektual?
Istilah integratif-interkonektif digagas dan diwacanakan oleh Prof. Amin Abdullah (selanjutnya: AA) yang pada saat itu menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga untuk periode pertama (2001-2005). Sosok ilmuan sejati yang luas dikenal sebagai filosof itu begitu semangat dan antusiasnya untuk mendesiminasikan gagasannya tersebut. Berbagai forum digelar untuk mendiskusikan secara intensif, akademik dan komprehensif bagaimana dan seperti apa wujud dari “makhluk” yang bernama integrasi-interkoneksi itu. Banyak kritik dan cemoohan dari berbagai kalangan dan latar keilmuan akademisi yang datang, baik dari internal kampus ataupun yang dari luar.
Namun demikian, semua itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mewujudkan impiannya, “membumikan” integrasi-interkoneksi di dunia kampus sehingga akrab dan menjadi worldview bahkan mengkerak menjadi mindset ideologi semua insan akademis khususnya dan umat manusia umumnya. Beliau yakin bahwa integrasi-interkoneksi atau lengkapnya integrasi-interkoneksi ilmu Keislaman (disingkat 3IK) adalah solusi paling tepat dalam menjawab problem sosial kemanusiaan terutama yang berkaitan dengan keislaman dan keindonesiaan.
Dengan berbekal kekayaan literatur yang sudah dijelajah dan keluasan pengalaman berdialog dalam berbagai forum, baik lokal atau internasional, AA merumuskan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan. Bagi AA, 3IK adalah sintesa dari realitas historis keilmuan keislaman yang selama ini tegak kokoh berdiri bak menara gading tanpa membutuhkan dan perduli dengan keilmuan yang lain (single entity). Seorang faqih dianggap sebagai sosok yang paling otoritatif bicara Islam dibanding seorang muhaddis, muarrikh, muaddib ataupun mufassir. Begitu juga sebaliknya.
Bila kondisi ini dibiarkan maka Islam dan umat Islam akan tertinggal dan ditinggal jauh oleh pesatnya akselerasi kemajuan peradaban. Bangunan keilmuan keislaman yang menjadikan teks/nash sebagai sumber kebenaran dengan pola nalar yang deduktif Aristotelian ini memiliki kelemahan cukup mendasar, yaitu tidak akrab dengan realitas (lack of empiricism) juga lemah secara metodologis. Kelemahan ini diperparah lagi dengan tarikan interes-interes personal yang begitu kuat karena rapuhnya benteng moral yang dimiliki. Selain pola pandang yang sempit (narrow mindedness) dan myopic juga kerdilnya mentalitas keilmuan untuk menerima kebenaran dari mana saja datangnya (open minded) semakin menambah absurditas keadaan.
Berbagai kelemahan dan kekurangan yang potensial dimiliki oleh ilmu keislaman ini dalam pandangan AA meniscayakan diri pada ilmu keislaman untuk berbesar hati bertegur sapa dengan ilmu-ilmu “diluar” islam seperti sains, social sciences dan humanities. Dengan membina hubungan yang harmonis dan sinergis ini, 3IK diyakini bisa menjawab sederet problem sosial kekinian seperti Globalization, Migration, Scientific & technological revolutions, Space exploration, Archaeological discoveries, Evolution and genetics, Public education and literacy, Increased understanding of the dignity of human person, Greater interfaith interaction, The emergence of nation-states dan Gender equality.
Ada tiga ranah 3IK yang bisa dilakukan yaitu filosofis, materi, metodologi dan strategi. Menurut AA, 3IK pada ranah filosofis adalah berupa suatu penyadaran eksistensial bahwa suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya. Sedangkan 3IK pada ranah materi adalah suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam pengajaran matakuliah umum, dan sebaliknya, ilmu-ilmu umum ke dalam kajian-kajian keagamaan dan keislaman. Adapun 3IK pada ranah ilmu ada tiga model, yaitu Model Pengintegrasian ke dalam Paket Kurikulum; Model Penamaan Matakuliah yang menunjukkan hubungan antara dua disiplin ilmu umum dan keislaman; Model Pengintegrasian ke dalam tema-tema matakuliah. Untuk 3IK pada ranah metodologi AA, memberikan catatan ketika sebuah disiplin ilmu dintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain,
maka secara metodologis harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Pada ranah terakhir, strategi AA menekankan bahwa pembelajaran dengan model active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi suatu keharusan.
Integrasi-Interkoneksi: Branding or Islamic Paradigm?
Mencermati sejarah lahirnya 3IK dari kegelisahan intelektual seorang AA melihat realitas sosial keagamaan yang berlangsung di masyarakat dan dilontarkan bersamaan dengan proses transformasi UIN dari IAIN menjadi wajar bila menimbulkan kontroversi dan multitafsir. Baik dari perspektif teoritis keilmuan ataupun dalam perspektif praksis-politis. Perdebatan yang berlangsung hingga saat inipun tetap berporos pada dua arus utama pemaknaan tersebut.
Dalam perspektif keilmuan, rumusan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan hasil dari “integrasi” berbagai jenis disiplin keilmuan (barat- timur, islam-non islam, akhirat-dunia, tradisional-modern) adalah suatu logika yang hingga saat ini sulit dipahami oleh sementara kalangan, kalau “integrasi” yang dimaksud adalah pada wilayah epistemologi dari keilmuan masing-masing. Hal tersebut ibarat A + B = C. Bagaimana mungkin menghasilkan C? Bukankah lebih rasional bila A + B = AB? Semisal Fikih + Kimiawi = Fikih-Kimia atau Kimia-Fikih. Kalau tidak demikian maka yang terjadi adalah 3IK ini sebenarnya tiada lain adalah melanjutkan proyek islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) yang dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-Faruqi yang sudah dianggap gagal itu.
Bila dicermati dari kelima ranah 3IK seperti dijelaskan oleh AA di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan integrasi bukanlah pada epistemologi tapi lebih pada wilayah aksiologinya. Namun demikian bila difahami bahwa ontologi-epistemologi-aksiologi adalah satu kesatuan bangunan keilmuan yang tidak bisa dipisah dan terpisah, pemahaman mengenai 3IK dalam arti integrasi antara dua entitas menjadi satu entitas baru semakin sulit ditangkap maksudnya. Dengan demikian maka yang paling mudah difahami dari maksud 3IK ini adalah pendekatan interdisipliner. Apabila tidak mau disebut sebagai istilah lain dari pendekatan interdisipliner dan juga menyangkal sebagai penerus islamisasi ilmu pengetahuan dengan kemasan baru, maka seperti apa yang disinyalir oleh Machasin dari awal bahwa 3IK sebenarnya tiada lain dari sekedar branding bagi proyek transformasi IAIN ke UIN saja.
Al-Qur’an: Integrasi-Interkoneksi Yang Sebenarnya
Mencermati kembali apa yang dijelaskan dan diinginkan oleh AA mengenai 3IK terutama pada keempat ranah tersebut di atas, penulis menduga AA terinspirasi oleh kitab suci al-Qur’an. Al-Qur’an adalah contoh konkrit dari paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi keilmuan dalam arti yang sesungguhnya. Pada al-Qur’an semua sumber pengetahuan begitu terintegrasi dan terinterkoneksi dengan sangat baik. Setiap informasi ayat yang disampaikan di dalamnya terkandung nilai filosofis, etis, strategis, historis juga metodologis yang saling terintegrasi. Adanya munasabah surat dengan surat, ayat dengan surat, ayat dengan ayat dan bahkan akhir surat dengan awal surat membuktikan bahwa al-Qur’an secara keseluruhan adalah satu kesatuan bangunan “keilmuan” yang di dalamnya sudah terintegrasi berbagai nilai dan pendekatan juga strateginya. Oleh karena itulah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh sepotong tapi harus utuh.
Penyusunan Al Qur’an telah menggunakan dasar-dasar pengetahuan atau metode keilmuan, juga merupakan penjelasan secara tidak langsung bahwa susunan surat-surat maupun ayat-ayat di dalam surat, sudah menggunakan sistimatika dan metode keilmuan. Sistim berasal dari bahasa Yunani, yaitu systema yang berarti keseluruhan yang bulat dan utuh. Dengan demikian kata sistim pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai suatu kegiatan atau proses yang bersifat integratif dan transformatif dari seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya. Dikatakan integratif karena proses tersebut bersifat menyeluruh karena melibatkan seluruh komponen yang ada yang fungsinya berbeda-beda satu sama lain. Disebut transformatif karena dari proses yang melibatkan seluruh komponen-komponen yang tersebut kemudian menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan demikian, suatu sistim mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan kumpulan, sebab kumpulan tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Artinya adalah bahwa Al Qur’an bukan sekedar merupakan kumpulan surat-surat dan ayat-ayat, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu. Tetapi lebih daripada itu, semua komponen-komponennya tersebut satu sama lainnya saling berinteraksi atau berhubungan sehingga mejadi satu kesatuan informasi yang utuh.

Sumber : Harianto, didik (2010). Studi Islam Integrasi Interkoneksihttp ://didik harianto  Studi Islam Integrasi Interkoneksi.htm . 20 November 2012
              Anonim (2010).  Islam dan Sains  integrasi interkoneksi, antara teori dan praktikhttp://royan-arief.blogspot.com/2010/03/integrasi-interkoneksi-antara-teori-dan.html . 20 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar